KATA
PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Teologi Islam.
Agama sebagai
sistem kepercayaan dalam
kehidupan umat manusia
dapat dikaji melalui
berbagai sudut pandang.
Islam sebagai agama
yang telah berkembang
selama empat belas
abad lebih menyimpan
banyak masalah yang
perlu diteliti, baik
itu menyangkut ajaran
dan pemikiran keagamaan
maupun realitas sosial,
politik, ekonomi dan
budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca
dapat memperluas ilmu tentang Takdir Dan Usaha, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kepada dosen pembimbing
saya meminta masukannya
demi perbaikan pembuatan
makalah saya di
masa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Takdir merupakan hal penting yang harus dipercayai oleh setiap muslim.
Karena sesesungguhnya takdir kita telah ditentukan oleh Allah jauh sebelum kita
diciptakan oleh Allah. Jadi mempercayai takdir dengan sepenuh hati merupakan
cerminan keimanan seseorang. Semakin tinggi iman seseorang semakin yakinlah
bahwa segala yang diberikan Allah kepadanya merupakan ketentuan yang telah
ditentukan.
Dan jikalau imannya rendah maka dia akan menyesali setiap musibah yang
ditimpakan kepadanya. Perlu diingat bahwa, setiap hal yang telah ditentukan
pasti terjadi. Dan takdir itu ada yang bisa dirubah dengan berusaha, yaitu
dengan do'a dan usaha. Jikalau kita berhasil maka sesungguhnya Allahlah yang
memindahkan kita dari takdir yang jelek ke takdir yang baik.
Usaha/perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan cita – cita. Setiap
manusia harus kerja keras untuk melanjutkan hidupnya. Sebagian hidup manusia
adalah usaha/perjuangan, perjuangan untuk hidup dan ini sudah kodrat manusia.
Tanpa usaha/perjuangan manusia tak dapat hidup sempurna. Apabila manusia ingin
menjadi kaya, ia harus kerja keras. Bila seseorang ingin menjadi ilmuwan, ia
harus rajin belajar dan mengikuti semua ketentuan akademik.
Dalam agamapun diperintahkan untuk kerja keras, sebagaimana hadist yang
diucapkan Nabi Besar Muhammad S.A.W yang ditunjuk kepada para pengikutnya
“Bekerjalah kamu seakan-akan kamu hidup selama-lamanya, dan beribadahlah kamu
seakan-akan kamu akan mati besok”.
Terdapat sebilangan orang
Islam yang terkeliru tentang konsep takdir (Qada’ dan Qadar), yang mana mereka
beranggapan takdir mereka telah ditentukan oleh Allah s.w.t. sejak azali lagi
dan dengan itu tidak perlu berusaha.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa itu takdir?
2.
Apa saja jenis – jenis takdir?
3.
Bagaimana pendapat manusia tentang
takdir?
4.
Bagaimana konsep takdir?
5.
Bagaimana hubungan usaha dengan
takdir?
1.3 TUJUAN
1.
Mengetahui pengertian takdir
2.
Mengetahui jenis dari takdir
3.
Mengetahui pendapat manusia tentang
takdir
4.
Memahami konsep dari takdir
5.
Memahami hubungan usaha dengan takdir
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Takdir
Kata takdir berasal dari kata “qaddara” yang
berasal dari akar kata qadara yang berarti mengukur, memberi kadar atau
ukuran[1].
Menurut istilah takdir sendiri memiliki arti sebagai
suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang
lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal hingga akhir.
“Dan tatkala mereka masuk menurut
yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah
melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu
keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia
mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui”.[2]
Dari
terjemahan surah Yusuf diatas dapat disimpulkan takdir adalah ketentuan suatu
peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya
baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan
demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Beberapa ulama besar berpendapat
bahwa: “Segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan
secara pasti oleh Allah swt untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat
antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi”.[3]
Pengertian
di atas sejalan dengan penggunaan kata qadar di dalam al-Quran dengan berbagai
macam bentuknya yang pada umumnya mengandung pengertian kekuasan Allah swt
untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-undang terhadap segala
sesuatu, termasuk hukum sebab dan akibat yang berlaku bagi segala yang maujud,
baik makhluk hidup maupun yang mati.
Takdir merupakan suatu ketentuan yang telah di
tetapkan dan semua ketentuan untuk tidak dapat di ubah, dan apabila kita ingin
mengubah maka denagn banyak berdoa dan menunaikan sebanyak banyak amal ibadah .[4]
Takdir merupakan ketentuan yang
telah ditentukan oleh Allah kepada makhluknya sebelum makhluk itu diciptakan,
dan takdir ini pasti terjadi. Iman kepada Takdir adalah rukun iman yang keenam.
Oleh karena itu orang yang mengingkarinya termasuk ke dalam golongan orang
kafir, sesuai dengan kutipan dibawah ini.
Umat Islam
memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani
sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat
dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al
Hadits.[5]
Dalil yang
menunjukkan wajibnya iman kepada takdir terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah,
yaitu :
“Tiada sesuatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Surah Al-Hadid : 22).[6]
“Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut qadar (ukuran).” (QS. Surah
Al-Qamar: 49).[7]
Adapun dari hadits adalah ketika malaikat
Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad tentang iman, maka Nabi Muhammad
bersabda, “Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan
buruk." (Bukhari Muslim).[8]
Abdullah bin Umar berkata: “Aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“ Allah telah menulis
(menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima
puluh ribu tahun .” (HR. Muslim)[9]
Secara keilmuan
umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu
yang sudah terjadi.
Banyak orang
yang keliru dalam memahami takdir, mereka menyangka bahwa Allah menakdirkan
suatu akibat terpisah dari sebabnya, menakdirkan suatu hasil terpisah dari
usaha untuk mencapainya. Maka jika ada orang yang mengatakan tidak akan menikah
dengan alasan jika Allah telah menakdirkannya punya anak pasti dia punya anak
walau tanpa menikah. Atau dia tidak mau makan dengan alasan jika Allah
menakdirkan dia kenyang, dia pasti kenyang walau tanpa makan.
Maka orang
yang ditakdirkan untuk masuk surga dia akan beramal shaleh. Dan jika dia
berbuat maksiat, maka dia akan ditakdirkan masuk neraka. Jadi Allah menakdirkan
sebab dan akibat secara bersama-sama. Artinya usaha dan sebab adalah
bagian dari takdir Allah . Inilah yang ditunjukkan oleh hadits
Rasulullah dan pemahaman para sahabat.
Rasulullah
pernah ditanya seseorang,“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang
obat-obatan yang kami pergunakan untuk berobat, bacaan-bacaan tertentu untuk
penyakit kami, dan perisai yang kami pakai untuk menangkis serangan musuh,
apakah itu semua dapat menolak takdir Allah?” beliau menjawab, “itu
semua juga adalah takdir Allah.” Rasulullah bersabda, “Tidak ada
yang dapat menolak takdir selain doa.”[10]
Suatu saat
Abu Ubaidah memasuki wilayah yang sedang terjangkit wabah Tha'un, maka Umar
memerintahkannya untuk keluar dari wilayah tersebut. Abu Ubaidah menyangkal
dengan mengatakan, “Apakah kita akan lari dari takdir Allah.” Maka
Umar menjawabnya, “Ya kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah
yang lain.”[11]
Ibnu Qayyim
berkata; “Orang yang pintar adalah orang yang menolak takdir dengan takdir, dan
melawan takdir dengan takdir. Bahkan sejatinya manusia tidak dapat hidup
kecuali dengan itu. Karena lapar, dahaga, takut adalah bagian dari takdir. Dan
semua makhluk senantiasa berusaha menolak takdir dengan takdir”[12]
Masalah
takdir adalah masalah ghaib dan dirahasiakan Allah, kita tidak tahu apakah akan
selamat atau celaka, yang tampak di hadapan kita adalah syariat, maka kewajiban
kita adalah menjalankan syariat dan hasilnya akan sesuai dengan yang
ditakdirkan oleh Allah.
II.
Jenis-jenis takdir
Takdir dalam
Islam dibagi menjadi beberapa jenis menurut beberapa aspek.
Yang akan
dibahas pertama dalam makalah ini adalah jenis-jenis takdir berdasarkan
kehendak Allah atas segala sesuatu.
Takdir tentang kehendak Allah atas
segala sesuatu dibagi menjadi tiga bagian[13].
Konsep
takdir ini berisi kehendak-kehendak Allah yang ghaib, masalah
kewajiban-kewajiban manusia, dan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta
ini.
Ø
Takdir ghaibi
Adalah
apa-apa yang Allah kehendaki terhadap kita (manusia). Takdir ini bersifat ghaib,
rahasia, dan baru diketahui setelah terjadinya takdir tersebut. Dasarnya adalah
kehendak Allah yang ghaib. Contohnya,kehendak Allah terkait gender, tempat dan
tanggal lahir, orang tua yang melahirkan, dan waktu dan tempat kematian. Allah
berkehendak menjadikan sebagian manusia laki-laki dan sebagiannya lagi
perempuan. Setiap manusia tidak dapat memilih gender yang ia kehendaki. Ia pun
tidak dapat memilih di bumi mana ia lahir dan mati juga waktunya. Ia tidak
dapat mengusulkan dari orang tua yang mana ia lahir. Semuanya mutlak hak
prerogatif Allah.
Ø
Takdir syar’i
Yaitu apa-apa yang Allah
kehendaki dari diri kita. Sifatnya nyata, yaitu dapat diprediksi berdasarkan
hukum sebab akibat. Dasarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya adalah
konsep surga dan neraka. Manusia akan masuk surga jika ia memenuhi
kriteria-kriteria yang disyaratkan di dalam Al-Quran dan sunnah. Begitu juga
sebaliknya, ia layak masuk neraka jika perilakunya sesuai dengan persyaratan
masuk neraka. Karena hal ini dapat “diprediksi”, setiap orang dapat merenungi
dirinya, “menghitung” amalnya, sudah sejauh manakah ia mempersiapkan diri
menghadapi kehidupan akhirat dan tempat mana yang akan menjadi tempat
kembalinya. Ia dapat mengintrospeksi dirinya dan melakukan perbaikan-perbaikan
selama sisa hidupnya di dunia.
Ø
Takdir kauni
Yaitu apa-apa yang Allah kehendaki
terhadap alam ini. Sifatnya nyata. Dasarnya adalah sunnatullah (hukum-hukum
Allah atas alam), memenuhi hukum sebab-akibat, tetap, dan universal. Contohnya adalah hukum-hukum sains seperti fisika: hukum Newton, gravitasi,
siklus air, dan termodinamika. Takdir ini berjalan menjaga keteraturan alam
semesta. Ia seperti kitab undang-undang sebab akibat yang tertulis di alam,
tetapi hanya orang yang berilmu yang dapat membacanya. Ia bersifat tetap,
misalnya kalor akan tetap mengalir dari yang bersuhu tinggi ke yang bersuhu
rendah sampai dunia ini berakhir. Universal, di mana pun air akan mendidih pada
suhu 1000 C pada tekanan 1 atm. Jika hutan di hulu gundul, di hilir
akan banjir. Jika tidak belajar, tidak akan berilmu. Itu semua adalah takdir
kauni yang telah ada sejak alam ini diciptakan.
Selain
pembagian takdir seperti penjelasan diatas, takdir juga dibagi berdasarkan
kepastian ketentuan takdir itu terhadap manusia. Berdasarkan kepastian takdir
itu dibagi menjadi dua macam[14],
berikut penjelasannya.
Ø
Takdir Mubram, merupakan
ketentuan Allah swt yang sudah pasti berlaku atas manusia tanpa
dapat dielakkan lagi meskipun dengan ikhtiar (usaha). Firman Allah swt dalam Al
Quran Surah Yunus Ayat 49 yang artinya :
Artinya :“Tiap-tiap umat mempunyai
ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidk dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahuluinya.”
Ø
Takdir Mualak, merupakan
ketentuan Allah swt. yang mungkin dapat diubah oleh manusia melalui
ikhtiar bila Alah swt. mengijinkan.[3] Firman Allah swt. dalam Al Quran
Surah Ar Ra’du Ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah swt. tidak
akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya yang ada pada diri
mereka sendiri ”
Pembagian
takdir yang terakhir adalah pembagian takdir berdasarkan objek berlakunya[15],
meliputi:
o
At-Taqdiirul
'Aam (Takdir yang bersifat umum).
o
At-Taqdiirul
Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
o
At-Taqdiirul
'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
o
At-Taqdiirus
Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
o
At-Taqdiirul
Yaumi (Takdir yang berlaku harian).
Dibawah ini merupakan
penjelasan dari macam-macam takdir diatas.
a)
At-Taqdiirul
'Aam (Takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir
Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya),
mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini
ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:"Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah".
Dalam Shahih
Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Allah menentukan berbagai ketentuan para
makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau
bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air.
b)
At-Taqdiirul
Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir
yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb
mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu,
serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang
yang celaka. Dia berfirman : "Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka
menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)."
[Al-A'raaf:172]
Dari Hisyam
bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh
qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Allah
mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian
menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka
dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di
Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan
ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka."
c)
At-Taqdiirul
'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala
takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir
ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya. Hal
tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam
perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti
itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula,
kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan
diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya,
ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)."
d)
At-Taqdiirus
Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam
malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman
Allah Ta'ala [Qs. Ad-Dukhaan: 4]
"Pada
malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar." [Qs. Al-Qadr: 4-5]
Disebutkan,
bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke
depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki
dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji.
Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji.
Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma,
demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair.
e)
At-Taqdiirul
Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
"Setiap
waktu Dia dalam kesibukan." [Qs. Ar-Rahmaan: 29]
Disebutkan
mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan,
meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya
dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan
seterusnya.
III.
Pendapat-pendapat
Manusia tentang Takdir
Pada umumnya sebagian besar orang membagi tiga
golongan yaitu [16]:
a.
Golongan Qodariyah
Yaitu salah satu golongan Mu’tazilah. Golongan
ini menolak adanya takdir di dalam perbuatan dan usaha-usaha manusia. Mereka
berpendapat bahwa manusia sendirilah yang menciptakan dan menguasai perbuatan-perbuatannya, baik
kebaikan, maupun keburukan. Manusia dalam segala usahanya terlepas dari kodrat
Yang Maha Esa.
b.
Golongan Jabbariyah
Yaitu golongan yang
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dan pilihan sendiri dalam
segala perbuatannya. Semua perbuatan Tuhanlah yang menghendakinya baik yang baik
maupun yang buruk. Makhluk itu seakan-akan selembar bulu di tengah-tengah
lapangan luas, akan bergerak kesana kemari mengikuti tiupan angin. Manusia
tidak penya ikhtiar. Karena faham ini mendorong kepada fatalis. Faham ini di duga
didirikan oleh orang Yahudi yang bernama Thalud bin A’sam dengan tujuan merusak
keyakinan Islam dari dalam.
c.
Golongan yang mengambil jalan tengah
Antara kedua pendapat tersebut di atas, golongan
ini berpendapat bahwa lahirnya manusia memiliki ikhtiar, tetapi hakikatnya
tidak berdaya, ia tidak bisa lepas dari qadar Tuhan dengan ilmu dan iradat-Nya.
IV.
Konsep Takdir
Takdir
adalah suatu yang sangat ghoib, sehingga kita tak mampu mengetahui takdir kita
sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan berusaha pun telah
Allah jadikan sebagai kewajiban. “Tugas kita hanyalah senantiasa berusaha, biar
hasil Allah yang menentukan”, itulah kalimat yang sepertinya sudah tidak asing
lagi di telinga kita, yang menegaskan pentingnya mengusahakan qadha untuk selanjutnya
menemui qadarnya.
Takdir itu
memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani[17],
yaitu :
a)
Al-`Ilmu, bahwa
seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara
global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang
akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail
maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya. Sebagaimana firman Allah:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ
يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ
مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ
رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-an`am:59)
b)
Al-Kitabah, Bahwa
Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي
كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab.
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj:70)
c)
Al-Masyiah (kehendak),
Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu pun di langit maupun
di bumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah (kehendak /keinginan) Allah
SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaan-Nya yang tidak diinginkan-Nya selamanya.
Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang
dilakukan oleh makhluq-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya :
إِنَّمَا
أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia” (QS. Yasin:82)
d)
Al-Khalqu, Bahwa
tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya,
pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya, dalam firman-Nya dijelaskan :
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ
الدِّينَ
“Sesunguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan keta'atan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2).
Berkaitan dengan peningkatan
sumber daya manusia, takdir adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah
tentang seluruh kejadian masa lalu ataupun masa depan. Kebanyakan orang
mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi.
Hal ini membuat mereka gagal dalam memahami takdir. Kejadian itu bukanlah
kejadian yang belum terjadi, hanya saja belum dialami oleh manusia. Allah tidak
terikat ruang ataupun waktu, karena dialah pencipta keduanya.
Masyarakat berkeyakinan bahwa
Allah menentukaan takdir setiap manusia, tetapi terkadang takdir ini dapat diubah
oleh manusia itu sendiri. Akan tetapi tidak ada satu orang pun yang dapat
mengubah takdirnya. Maka dari itu untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
sudah seharusnya kita berusaha dan berdoa. Bukan hanya mengandalkan doa saja
maupun hanya berusaha saja. Antara doa dan usaha haruslah seimbang. Tanpa
keduanya semua tidak ada artinya. Jika tidak ada ikhtiar dari manusia maka
takdir menjadi tidak bermakna. Begitu sebaliknya jika tidak ada takdir maka
ikhtiar manusia akan sia-sia. Maka dengan adanya keyakinan terhadap takdir maka
akan menjadi kekuatan yang dapat membangkitkan semangat kerja, gairah berusaha
dan sebagai dorongan yang positif untuk meraih kesuksesan hidup.
Untuk
memahami konsep takdir umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi
pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi
kemanusiaan.
ü
Dimensi Ketuhanan
Dimensi
ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa
Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir[18].
Konsep takdir dengan pemahaman dimensi ketuhanan terdapat dalam
beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya[19]:
·
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir
,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak
terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini
atau akan datang).
·
Dia (Allah) telah menciptakan segala
sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan
/ QS. 25:2)
·
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua
telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj /
QS. 22:70)
·
Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
·
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka
Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am /
QS 6:149)
·
Allah menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
·
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan
segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala
akibat.
Berdasarkan
poin-poin tentang konsep takdir berdasarkan dimensi ketuhanan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa iman kepada takdir Allah dapat diartikan sebagai
berikut:
·
Allah mengetahui segala sesuatu
sebelum terjadi. Karena tidak ada sesutu pun yang luput dari pengetahuan Allah.
·
Semua yang yang terjadi di alam
semesta ini terjadi karena kehendak Allah yang terlaksana dan tidak ada peran
siapa pun di sana.
·
Bahwa semua yang terdapat di alam
semesta ini adalah ciptaan Allah dan karena kehendak-Nya.
·
Allah mencatat segala sesuatu sejak
awal mula penciptaan dalam kitab-Nya (Lauh al-Mahfuzh).
ü Dimensi
Kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang
meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya[20].
Konsep takdir dengan pemahaman dimensi ketuhanan terdapat dalam
beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya[21]:
·
Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia (Ar Ra'd / QS. 13:11)
·
(Allah) Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk /
QS. 67:2)
·
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat
Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa),
siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi
Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan
bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62).
·
Iman kepada
Allah dan hari kemudian dalam arti juga beriman kepada
Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.... barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir...
(Al Kahfi / QS. 18:29)
Berdasarkan cakupan
bahasan tentang takdir dalam dimensi manusia diatas, dapat diambil beberapa
poin penting tentang Takdir Allah itu mencakup beberapa hal seperti dibawah
ini.
·
Tata aturan alam semesta, seperti
peredaran planet, aliran air, hembusan angin, susunan atom dan lain-lain.
·
Yang terjadi pada kita dan kita
tidak kemapuan untuk memilih dan ikhtiyar, seperti dijadikan laki-laki atau
perempuan, dilahirkan di Indonesia atau di Arab, di Eropa dan lain-lain.
·
Perbuatan-perbuatan yang berdasarkan
pilihan, meliputi perbuatan mubah, ketaatan dan perbuatan maksiat.
V.
Hubungan Usaha(Ikhtiar)
dengan Takdir
ü
Pengertian Ikhtiar
Adapun
secara istilah, pengertian ikhtiar yaitu usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan
masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat
terpenuhi[23].
Maka segala
sesuatu baru bisa dipandang sebagai ikhtiar yang benar jika di
dalamnya mengandung unsur kebaikan. Tentu saja, yang dimaksud kebaikan adalah
menurut syari’at Islam bukan semata akal, adat, atau pendapat umum. Dengan
sendirinya, ikhtiar lebih tepat diartikan sebagai “memilih
yang baik-baik”, yakni segala sesuatu yang selaras tuntunan Allah dan
Rasul-Nya.
Ikhtiar juga
dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi jika usaha kita gagal,
hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih
keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain
disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu
sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk
bersabar karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau
berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya
melandasi usaha tersebut dengan:
·
niat ikhlas untuk mendapat ridha
Allah,
·
berdoa dengan senantiasa mengikuti
perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik,
·
bidang usaha yang akan dilakukan
harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset,
·
selalu berhati-hati mencari teman
(mitra) yang mendukung usaha tersebut,
·
serta memunculkan
perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.
Setiap
manusia memiliki keinginan dan cita-cita untuk mendapat kesuksesan, tak ada
seorang pun yang menginginkan kegagalan. Hal ini karena Allah menganugerahkan
kehendak kepada manusia. Jika kehendak tersebut mampu dikelola dengan baik,
manusia akan menemukan kesuksesannya. Dibawah ini merupakan ayat al-Qur’an yang
mendukung penjelasan di atas.
“ (yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui ” (QS.Ash-Shaff:11)
Allah telah mencontohkan
kisah Nabi Ya’qub dalam Al-Qur’an sebagai contoh nyata pelajaran
orang-orang yang ditimpa kesusahan dan larangan berputus asa. Nabi Ya'qub yang
terus berdo'a dan berharap pada Tuhannya setiap saat agar tidak termasuk
orang-orang yang berputus asa, karena berputus asa pada kebaikan Tuhan adalah
sifat-sifat orang yang kafir.
Kisah itu digambarkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 87,
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا
تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ
اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: Wahai anak-anakku! Pergilah
kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari
rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir”. (QS: Yusuf: 87)[24]
Tak ada
cara lain, mari kita palingkan semua pada Islam. Berikhtiarlah untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan kita, yakni dengan memilih jalan-jalan keluar
yang baik-baik dan yang diridhoi Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Inti dari segala ilmu Tauhid atau keimanan pada akhirnya terletak atas iman
kepada takdir, sebagai titik akhir sikap penyerahan diri seorang muslim atas
ketentuan Allah Swt. Sebagai konsekuensinya mempercayai dan
meyakini wujud-Nya Allah swt. dan penerimaan atas segala hukum dan
ketentuannya[25].
Jadi, tugas kita sebagai manusia tidak lain tidak bukan adalah mempercayai
segala takdir atau ketentuan Allah. Dan kita harus menyerahkan hidup kita
sepenuhnya kepada Allah dengan selalu berdo’a diiringi dengan usaha.
Kesadaran
manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait
dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya
akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan
berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan
perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu
sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab
itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di
dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu,
kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk
dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya
gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber
kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang
juga. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hadid ayat 23.
“(Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.”(QS. Al Hadid:23)[26]
Kesimpulannya,
karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka
diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya
yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan
pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
Penjelasan di
atas menunjukan adanya hubungan antara takdir Allah dengan ikhtiar manusia.
Sebagian yang terjadi pada manusia ada yang tidak dapat di hindarkan atau
dielakkan, misalnya ketetapan kapan dan dimana ia akan lahir, berkelamin lelaki
atau perempuan, kapan dan dimana ia akan meninggal dan sebagainya. Tetapi
manusia juga mengetahui bahwa sebagian yang terjadi pada dirinya ada penyebabnya, seperti rajin belajar akan menyebabkan
pandai, berusaha dan bekerja keras akan mendapatkan hasil yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagainya.
“Allah
menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki). Dan
disisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab(Lauh al-Mahfudzh).” (QS.Ar Rad’u
:39)[27]
Dengan demikian
manusia tidak hanya sekedar
menunggu ketentuan takdir, tetapi ia juga diberikan kebebasan bahkan diharuskan
untuk berbuat dan berikhtiar. Meskipun dalam berikhtiar ia memilih jalan yang
baik atau jahat, semua itu pada akhirnya tetap dalam takdir Allah SWT.
VI.
Manfaat Iman Kepada Takdir
Adapun hikmah atau manfaat iman kepada takdir antara lain :
Ø
Mendorong untuk menuntut ilmu dan berusaha dengan sungguh-sungguh dari masa ke masa.
Ø
Memupuk
sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak
mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan
bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi
harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar
senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan
itu. Sesuai firman Allah swt. yang artinya : Dan carilah pada apa yang telah
di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
Ø
Membuat hidup lebih tenang dan sabar dalam menghadapi segala macam
persoalan.
Orang yang beriman
kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya,
sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika
beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia
bersabar dan berusaha lagi. Sesuai firman Allah swt yang artinya : Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam
sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Ø
Membebaskan manusia dari berbagai macam penyakit rohani seperti iri,
sombong, nifaq, malas dan sebagainya.
Orang yang tidak
beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap
keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun
merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah
dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah
ketentuan Allah. Sesuai firman Allah SWT yang artinya:
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat
87)
Ø
Menyuburkan dalam diri manusia segala macam sifat-sifat yang baik, seperti ikhlas, kasih sayang, rajin,
tawakal, mencukupkan apa yang ada, dan lain sebagainya.
Ø
Melatih manusia untuk
selalu bersyukur.
Orang yang beriman
kepada takdir Allah, apabila mendapat keberuntungan maka ia akan bersyukur,
karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut
merupakan ujian. Sesuai firman Allah yang artinya:”dan apa saja nikmat yang
ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan,
maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat
53).
[1] Mahmud Yunus, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Hidakarya Agung,
1989). Hlm. 789.
[3] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,Al-Iimaan
bil Qadhaa wal Qadar (Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir), 2009. Hlm.56
[4] Abu Muhammad Herman, Macam-Macam
Takdir, blogger, 2009
[5] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Opcit.hlm.68.
[6] Qs. Al-Hadid ayat 22.
[8] Kitab H.R. Muslim, (VIII/173).
[9] Ibid,.
[10] Kitab H.R. Muslim, (VIII/51).
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[15] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd. Opcit.hlm.75.
[18] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,Al-Iimaan
bil Qadhaa wal Qadar (Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir). 2009. Hlm. 81.
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur'an al-Karim;
Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Cet. I;
Bandung: Pustaka Hidayah, 1997). Hlm. 68.
[20] Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd .Opcit. hlm.82
[22] Mahmud Yunus, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Hidakarya Agung,
1989). Hlm. 126.
[24] Qs. Yusuf ayat 87
[25] Zaini, Syahminan. Kuliah Aqidah
Islam(Surabaya: Al-Ikhlas,1983) hlm 378
[26] Qs. Al- Hadid ayat 23.
[27] Qs. Ar_Rad’u ayat 39.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Mahmud Yunus, Kamus Indonesia Arab
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1989)
·
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur'an
al-Karim; Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu
(Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
·
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tauhid. (Yogyakarta: 2005)
·
Muhammad bin Ibrahim
Al-Hamd,Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar (Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir), 2009
·
Abu Muhammad Herman, Macam-Macam
Takdir, blogger, 2009
·
Zaini, Syahminan. Kuliah Aqidah
Islam(Surabaya: Al-Ikhlas,1983
0 comments:
Post a Comment