Thursday, September 11, 2014

Tasawuf




MAKALAH TASAWUF
Tasawuf Akhlaqi

Dosen Pengampu :
RIRIS LUTHFI,M.Pd.I


Oleh :

A. Nafis Syahroni (13650131)

KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kami atas kehadirat allah SWT atas rahmatnya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, dengan bab “Tasawuf Akhlaqi” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah TASAWUF.
            Dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian dari tasawuf akhlaqi, ajaran-ajarannya dan tokoh-tokohnya. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, kami bekerja semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan namun telah memberi manfaat bagi kami, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen pembimbing kami RIRIS LUTHFI,M.Pd.I
Semoga dengan terselesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman sekalian.













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dalam hati atau jiwa manusia ada potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang cenderung pada kebaikan. Ada yang disebut dengan nafsu yang cenderung pada keburukan. Manusia cenderung selalu dikendalikan oleh hawa nafsunya. Jika manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya maka dia telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Dengan penguasaan nafu tersebut didalam diri seseorang maka berbagai penyakit pun timbul didalam dirinya seperti sombong, membanggakan diri, buruk sangka, maksiat, dan lain sebagainya. Maka dengan metode-metode tertentu yang dirumuskan, tasawuf akhlaqi berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (mahmudah) di dalam hati dan jiwa manusia.
B.     Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah tasawuf akhlaqi ini, kami mendapatkan beberapa masalah dalam penulisannya, diantaranya:
a.    Apa yang dimaksud pengertian Akhlak?
b.    Apa perngertian dari Tasawuf Akhlaqi?
c.    Siapa saja tokoh-tokoh sufi Tasawuf Akhlaqi?
d.   Ajaran-ajaran apa saja yang ada dalam Tasauwf Akhlaqi dan ‘Amali?
C.    Tujuan Pembahasan
Untuk lebih memahami dan menjawab masalah-masalah didalam pembuatan makalah tentang Tasawuf Akhlaqi secara mendalam, maka kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang pengertian akhlak, kemudian pengertian dari Tasawuf Akhlaqi, selanjutnya memaparkan tokoh-tokoh sufi dalam Tasauwf Akhlaqi, dan terakhir kami akan menerangkan ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf akhlaqi juga ‘amali.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akhlak
Definisi ilmu akhlak;
1.    Ahmad Amin mengemukakan definisinya dengan mengatakan : “Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk”. (t.t. : 2).
2.    Abuddin Nata mengemukakan pendapat Ibrahim Anis, dengan mengatakan: “Ilmu akhlak adalah ilmu yang melingkupi pembahasan tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dapat dikategorikan baik atau buruk”. (1996 : 8).
Dengan demikian ilmu akhlak adalah suatu ilmu yang membahas persoalan yang bernilai baik atau buruk, lalu mengemukakan teori-teori yang dapat dijadikan tuntunan untuk melakukan perbuatan baik, serta petunjuk mengenai cara-cara menghindari perbuatan buruk. Karena akhlak itu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar pokoknya, maka ilmu tersebut maka ilmu tersebut sering mengemukakan dalil Al-Qur’an maupun Hadis, untuk menuntun manusia ke jalan yang benar. Lalu sering juga mengemukakan teori-teori dari pemikiran Filsafat sebagai dasar pengembangannya.
B.     Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan manusia.
Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Jadi, tasawuf akhlaqi yaitu ilmu yang memperlajari pada teori-teori perilaku dan perbaikan akhlak.



C.    Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaqi
Berikut ini adalah contoh-contoh sufi yang termasuk ke dalam aliran tasawuf akhlaqi;
1.        Hasan Al-Bashri (21 – 110 H), yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.
2.        Al-Muhasibi (165-243 H), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H.) yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.
3.        Al-Ghazali (450 – 505 H), nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
D.    Ajaran Tasawuf Akhlaqi dan ‘Amali
Pada hakekatnya, para kaum sufi telah membuat sebuah sistem yang tersusun secara  teratur yang berisi pokok-pokok konsep dan merupakan inti dari ajaran tasawuf.[1][1] Diantaranya Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Muroqobah, Muhasabah, Syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.



1.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan  taqorrub  kepada tuhannya dengan cara mengadakan Riyyadah[2][2]  pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).[3][3] Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Murroqobah, memperbanyak dzikir dan wirid, mengingat mati, dan tafakkur.
a.    Takhalli 
Takhalli atau penarikan diri berati menarik diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang merusak hati. Definisi lain mengatakan bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau penyakit hati yang merusak.[4][4] Takhalli dapat dinyatakan menjauhkan diri dari kemaksiatan, kemewahan dunia, serta melepaskan diri dari hawa nafsu yang jahat, semua itu adalah penyakit hati yang merusak. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua, yakni maksiat fisik dan maksiat batin.[5][5] Maksiat fisik adalah segala bentuk maksiat yang dilakukan atau dikerjakan oleh anggota badan yang secara fisik. Sedangkan maksiat batin adalah berbagai bentuk dan macam maksiat yang dilakukan oleh hati, yang merupakan organ batin manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih berbahaya dari pada maksiat fisik. Jenis maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh manusia karena jenis maksiat ini adalah jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak seperti maksiat fisik yang cenderung sering tersadari dan terlihat. Bahkan maksiat batin dapat menjadi motor bagi seorang manusia untuk melakukan maksiat fisik. Sehingga bila maksiat batin ini belum dibersihkan atau belum dihilangkan, maka maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.

b.    Tahalli
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias. Sehingga Tahalli berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji serta mengisi diri dengan perilaku atau perbuatan yang sejalan dengan ketentuan agama baik yang bersifat fisik maupun batin. Definisi lain menerangkan bahwa Tahalli adalah menghias diri, dengan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.[6][6]
Pada dasarnya, hari atau jiwa manusia dapatlah dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.[7][7] Dengan kata lain sikap, atau tindakan yang dicerminkan dalam bentuk perbuatan baik yang bersifat fisik ataupun batin dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah kepribadian.
c.    Tajalli 
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba ketika mereka telah mampu melewati tahap Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk menempuh tahap Tajalli seorang hamba harus melakukan suatu usaha serta latihan-latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni dengan membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai bentuk perbuatan maksiat dan tercela, kemegahan dan kenikmatan dunia lalu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan, sikap, dan sifat-sifat yang terpuji, memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah, memperbanyak ibadah dan menghiasi diri dengan amalan-amalan mahmudah yang dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat ditempuh dengan melakukan latihan-latihan kejiwaan yang tersebut di atas, namun latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia rubah menjadi sebuah kebiasaan dan membentuknya menjadi sebuah kepribadian. Hal ini berarti, untuk menempuh jalan kepada Allah dan membuka tabir yang menghijab manusia dengan Allah, seseorang harus terus melakukan hal-hal yang dapat terus mengingatkannya kepada Allah, seperti banyak berdzikir dan semacamnya juga harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat membuatnya lupa dengan Allah seperti halnya maksiat dan semacamnya.


d.    Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT.[8][8] Maksudnya adalah dalam munajat seseorang mengeluh dan mengadu kepada Allah tentang kehidupan yang seorang hamba alami dengan untaian-untaian kalimat yang indah diiringi dengan pujian-pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasana yang hening teriring dengan deraian air mata dan ungkapan hati yang begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari sebuah do’a yang diungkapkan dengan rasa penuh keridhaan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Para kaum sufi pun berpandangan bahwa tetesan-tetesan air mata merupakan suatu tanda penyeselan diri atas kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga, bermunajat dengan do’a dan penyesalan yang begitu mendalam atas semua kesalahan  yang diiringi dengan tetesan-tetesan air mata merupakan salah satu cara untuk memperdalam rasa ketuhanan dan mendekatkan diri kepada Allah.
e.    Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal dari kata raqib yang berarti penjaga atau pengawal. Muraqabah menurut kalangan sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.[9][9] Muraqabah juga dapat diartikan merasakan kesertaan Allah, merasakan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun ramai.[10][10]
Sikap muraqabah ini akan menghadirkan kesadaran pada diri dan jiwa seseorang bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi apapun. Sehingga dengan adanya kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-apa yang mereka telah lakukan dalam kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah sesuai dengan kehendak Allah atau malah menyimpang dari apa yang di tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut dengan sikap mental muqorobah, yakni sikap selalu memandang Allah dengan mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia pun juga menyadari bahwa Allah juga melihatnya, mengawasinya, dan memandangnya dengan sangat penuh perhatian.
f.      Muhasabah
Muhasabah didefinisikan dengan meyakini bahwa Allah mengetahui segala fikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.[11][11]
Di dalam muhasabah, seseorang terus-menerus melakukan analisis terhadap diri dan jiwa beserta sikap dan keadaannya yang selalu berubah-ubah. Seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali: “selalu memikirkan dan merenungkan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat”.
Dengan demikian sikap muhasabah adalah salah satu sikap mental yang harus ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat meningkatkan kualitas keimanan kita terhadap Allah SWT. Sehingga sikap mental ini akan dapat meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan membukakan jalan untuk menuju kepada Allah SWT.
2.    Tasawuf ‘Amali
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah.[12][12] Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat.
a.    Syari’at dan Thariqat
Secara umum syaria’t adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-orang sufi, syari’at itu ialah amal ibadah lahir dan urusan mu’amalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.[13][13]
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan.[14][14] Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut dengan thariq.[15][15] Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang dari syari’at yang merupakan pangkal dari suatu ibadah.

b.    Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan, pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadah kepada Allah SWT.[16][16] Dalam istilah tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat kedalam hal-hal berikut:
·         Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada;
·         Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya;
·         Ma’rifat datang sebelum mahabbah.[17][17]
Sebagian besar para sufi mengatakan bahwa ma’rifat adalah puncak dari tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, para sufi berkeyakinan bahwa setiap orang yang menempuh jalan tasawuf dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, yakni ma'rifat.








BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka kami menyimpulkan bahwa pengertian ilmu akhlak adalah suatu ilmu yang membahas persoalan yang bernilai baik atau buruk, lalu mengemukakan teori-teori yang dapat dijadikan tuntunan untuk melakukan perbuatan baik, serta petunjuk mengenai cara-cara menghindari perbuatan buruk. Tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan manusia. Dan tokoh-tokoh sufi termasyur dalam aliran tasawuf akhlaqi ada 3 orang, diantaranya:
ü Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar (Hasan Al-Bashri; 21 – 110 H).
ü Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi (Al-Muhasibi; 165 - 243 H).
ü Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali (Al-Ghazali; 450 – 505 H).
Kemudian ajaran Tasawuf Akhlaqi adalah Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Murroqobah, memperbanyak dzikir dan wirid, mengingat mati, dan tafakkur. Dan ajaran Tasawuf ‘Amali yakni syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat.
  1. Saran
Mengingat terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya kesalahan dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun. Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari tim penulis. Tim penulis berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memperdalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA 
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH.
Mukhtar Hadi. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jamil H. M. . 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta: Gaung Persada Press.



[1][1] [1][1] Mukhtar Hadi; Hal 65.-
[2][2]  Riyyadah diartikan sebagai latihan-latihan mistik, latihan kejiwaan dengan upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya seperti perbuatan-perbuatan yang tercela baik yang batin maupun yang lahir yang merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya.
[3][3]  Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin; Hal. 263
[4][4]  Ibid. Hal.233
[5][5]  Ibid, Hal.233.
[6][6]  Ibid, Hal 227
[7][7]  Ibid, Hal 227
[8][8] Mukhtar Hadi; Hal. 70
[9][9] Totok Jumantoro dan  Samsul Munir Amin; Hal. 150
[10][10] Dikutip dari: http://ratih1727.multiply.com/journal/item/171, Tanggal 03 maret 2013

[11][11] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin;. Hal. 147
[12][12] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin;  Hal. 263
[13][13] Mukhtar Hadi; Hal. 74
[14][14] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin; Hal. 239
[15][15] Mukhtar Hadi;  Hal. 75
[16][16] Mukhtar Hadi; Hal. 76
[17][17] Ibid, Hal 141

0 comments:

Post a Comment