MAKALAH
STUDI ALQURAN
Di susun Oleh
Ahmad Nafis Syahroni
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji
syukur kami ucapkan kehadirat allah SWT atas rahmatnya yang telah dilimpahkan
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam makalah
ini kami akan membahas dengan tema “Qiraat
Al Quran”.
Kami akan membahas tentang pengertian Qiraat Al Quran dan
macam-macam Qiraat. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini kami bekerja
semaksimal mungkin sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam
waktu yang tepat.
Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan namun telah memberi manfaat bagi kami,
oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
dosen pembimbing kami Riris Lutfi Ni’matul Laila, M.Pd.I dan juga teman semuanya..
Semoga dengan
terselesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman
sekalian.
Malang, September 2014
Penulis
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti kita ketahui, Alquran
merupakan salah satu sumber hukum Islam yang keorisinalitasnya dapat
dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz
maupun makna. Selain itu seluruh ayat dalam Alquran dinukilkan atau diriwayatkan
secara mutawatir baik hafalan maupun tulisan.Alquran tidak terlepas dari aspek
qira’at, karena pengertian Alquran itu sendiri secara lughat (bahasa)
berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qira’at Alquran disampaikan dan diajarkan
oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada
para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya,
qira’at pernah diragukan keberadaannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi
SAW. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama ahli qira’at terdorong
untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi qira’at yang berkembang pada masa
itu. Berbagai versi qira’at Alquran tersebut ada yang berkaitan dengan lafadz
dan dialek kebahasaan. Perbedaan yang berkaitan dengan lafadz bisa menimbulkan
perbedaan makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan
dengan ayat-ayat hukum yang berbeda dengan versi qira’at sebagaimana terbaca
dalam mushaf yang dimiliki kaum muslimin sekarang. Perbedaan ini dapat menimbulkan
istinbath hukum yang berbeda pula.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman
dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at agar kita dapat mengetahui pengertian dan
latar belakang perbedaan qira’at serta pengaruhnya terhadap istinbath hukum
dalam Alquran.
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
dari Qiraat Al Quran?
2. Bagaimana
latar belakang timbulnya perbedaan Qiraat?
3. Macam-macam
Qiraat Al Quran?
4. Urgensi
mempelajari Ilmu Ilmu Qiraat?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Qiraat Al Quran
2. Untuk
mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi Qiraat Al Quran
3. Untuk
mengetahui macam-macam Qiraat Al Quran
4. Untuk
mengetahui urgensi mempelajari Qiraat Al Quran
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiraat
Berdasarkan
etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan
pengertian terminology
(istilah), ada beberapa definisi yang dkemukakan para ulama :
1. Menurut
az-Zarqani.
Az-Zarqani
mendefinsikan qiraah
dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang
berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan
riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan
huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[1]
2. Menurut
Ibn al Jazari.
Ilmu yang
menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya
dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[2]
3. Menurut al-Qasthalani
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau
diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh
secara periwayatan. [3]
4. Menurut az-Zarkasyi
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan
lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan
huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya. [4]
B. Latar
belakang timbulnya Qiraat
1. Latar
Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi
walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada
beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: Suatu ketika Umar bin
Khathtab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka
laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya
:“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini
diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah
dari tujuh huruf itu,” [5]
Menurut catatan
sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu
pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok,
telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at
gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at
tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai
kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya sebab
lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah
terjadinya transpormasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan
bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada
kondisi itu secara tepat.
2.
Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat
al-ada’)
Menurut
analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at
itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada
murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda
itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh
Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum
bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
a)
Perbedaan
dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat,
misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil
Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha”
pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca
“Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ
وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ....... {النساء : 37}
Artinya : ” …(yaitu) orang-orang yang kikir, dan
menyuruh orang lain berbuat kikir …” (Q.S. An.Nisa (4) : 37)
b)
Perbedaan
I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada
firman Allah surah Saba’ ayat 19 :
رَبَّنَا
بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “.
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena
statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya
menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
c)
Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan
maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا {البقرة
: 259}
artinya “……dan lihatlah kepada
tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat
tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali),
yang ditulis dengan huruf Zai diganti dengan huruf ra’ sehingga berubah
bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d)
Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak
berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5
َتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
{القارعة : 5}
artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan
“. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi”
sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu
domba.
e)
Perbedaan
dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah
Qof ayat : 19
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ
بَالْحَقِّ. {ق: 19}
artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan
sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa
ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke
belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam
bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan
kematian”.
f)
Perbedaan
dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah
al-Baqarah: 25
جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْ تِهَا
اْلأَنْهَارُ {البقرة : 25}
artinya “…surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”,
kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya
pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat
lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.
[6]
C.
Penyebab Perbedaan Qira’at
1. Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam
mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya,
nabi memakai beberapa versi qiraat.[7]
2. Pengakuan dari nabi terhadap
berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini
menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta
hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin.[8]
3. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan
di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an[9]
4. Perbedaan syakh, harakah atau huruf.
Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.[10]
D.
Macam-macam Qiraat
1. Dari
segi kuantitas
a) Qira’ah
Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah imam-imam qira’at
yang tujuh, mereka adalah:
v Abdullah
bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah. Ad-Dari berasal dari generasi
At-Tabi’in qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan
lain-lain.
v Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im
(wafat 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah dari 70 orang Tai’in.
v Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir
Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin
Abi Syaibah Al-Mahzumi.
v Abu Amar (wafat 154 H) dari Bsrah,
Irak. Ia meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin Jabr.
v Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah,
Irak. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil
qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
v Hamzah (wafat 188 H) Hamzah belajar
qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar
bin Hubasyi, dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin Thalib dan Mas’ud.
v Ashim (wafat 127 H). Ia belajar
qira’at dari Dzar bin Hubaisy, dan Abdullah bin Mas’ud.
b) Qira’at
Asyarah (Qira’at sepuluh).
Yang dimaksud qira’at
sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at
berikut:
v Abu Ja’far, memperoleh qira’at dari
Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka
berdua memperoleh nya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperoleh nya
langsung dari Nabi.
v Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin
Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak
orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang
membaca langsung dari Rasulullah SAW
v Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin
Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa’ bin
Habib.[11]
c) Qira’at
Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas).
Yang dimaksud qira’at
empat belas adalah Qira’at sepuluh diatas ditambah dengan empat qira’at
dibawah ini:
v Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H).
Salah seorang Tabi’in besar yang terkenal kezahidan nya.
v Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123
H). Ia adalah guru Abi ‘ Amr
v Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi
(wafat 202 H). Ia mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
2. Dari
segi kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas,
qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
a) Qira’at Mutawatir, yakni yang
disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin
bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk kedalam bagian
ini.
b) Qira’at Mansyur, yakni yang memiliki
sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas Mutawatir, sesuai kaidah bahasa
Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana
ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang
keliru dan menyimpang.
c) Qira’at Ahad, yakni memiliki sanad
sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan kaidah bahasa Arab,
ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d) Qira’at Syadz (menyimpang), yakni
yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qira’at
ini.
e) Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti
qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam.
f) Qira’at yang menyerupai Hadits
Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. [13]
E. Urgensi Mempelajari Qiraat
1. Menguatkan
ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya berdasarkan surat
An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara
laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa
[4] : 12)
Dengan
demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan
hukum yang telah disepakati.
2. Menarjih
hukum yang diperselisih kan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5]
ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdeka kan abid. Tambahan kata mukminatin
berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan
memerdeka kan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu
bentuk alternatif kifaratnya.
3. Menggabungkan
dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat
222. Sementara qiraat yang membacanya dengan يَطَّهِّرْنَ (sementara dalam mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ), dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan
hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
4. Menunjukkan
dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang
terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai ayat itu,
yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan
hukum yang berbeda.
5. Dapat
memberikan penjelasan terhadap suatu
kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam
Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ
الْمَنْفُوْشِ
Dalam
sebuah qiraat yang syadz dibaca:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ
كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْشِ
Dengan
demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِ adalah الصُّوفِ .
BAB
III
PENUTUP
Sebagai penutup, dari uraian-uraian pada bab
pembahasan di atas, dapat kami ambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Qiraat
menurut bahasa adalah bacaan. Namun pengertian secara istilah banyak sekali
definisi yang diberikan oleh para ulama.
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang
sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama
berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad.
2. Latar
Belakang timbulnya Qiraat al-Quran menurut analisis yang disampaikan Sayyid
Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru
membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
3. Dari segi
kuantitas, qiraat terbagi atas tiga bagian, yaitu Qiraat Sab’ah, Qiraat
‘Asyrah, dan Qiraat ‘Arba’ata ‘Asyar. Sedangkan dari segi kualitas terbagi atas
enam macam, yaitu Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syadz, Maudlu, dan yang menyerupai
hadits mudraj (sisipan).
4. Adapun
urgensi mempelajari qiraat adalah:
Ø Menguatkan
ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
Ø Menarjih
hukum yang diperselisihkan para ulama.
Ø Menggabungkan
dua ketentuan hukum yang berbeda.
Ø Menunjukkan
dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula
Ø Dapat
memberikan penjelasan terhadap suatu
kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, 1972, Ilmu-Ilmu Al-Quran, PT. Bulan Bintang,
Jakarta.
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja
Garfindo, Persada, Jakarta.
Anwar,
Rosihan, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2008
Al
A’zami, M. M, Sejarah Teks Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press.
2005
Akaha,
Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996
Chirzin,
Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
1998
Marzuki,
Kamaludin, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. 1992
Soleh & Dahlan, Asbabun Nuzul (Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an), Bandung: CV Diponegoro, Bandung, 2000
Quraish Shihab, dkk. Sejarah
dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999
[1] Muhamad ‘Abd
al-Azhim az-Zarqani, Manhil al-Irfan, Beirut : Daar al Fikr, tt, jilid
I, Hlm. 412
[2] Dr. Rosihon
Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Bandug : Pustaka Setia, 2000. Hlm. 147
[3] Dr. Rosihon
Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 147
[4] Dr. Rosihon
Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 147
[5]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an,
Hlm. 157
[6]
Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an, hlm.
110-112
[7]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an,
Hlm. 157
[8]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an,
Hlm. 157
[9]
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an,
hlm 157
[10]
Quraish Shihab. Hlm 99-100
[11]
Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. Hlm 104-105
[12]
Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. Hlm 104-105
[13]
Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Op. Cit Hlm. 151-154
0 comments:
Post a Comment