Wednesday, September 24, 2014

Studi Alquran

MAKALAH 
STUDI ALQURAN


Di susun Oleh 
Ahmad Nafis Syahroni


KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan kehadirat allah SWT atas rahmatnya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami akan membahas dengan tema “Qiraat Al Quran”.
Kami akan membahas tentang pengertian Qiraat Al Quran dan macam-macam Qiraat. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini kami bekerja semaksimal mungkin sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.
            Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan namun telah memberi manfaat bagi kami, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen pembimbing kami Riris Lutfi Ni’matul Laila, M.Pd.I dan juga teman semuanya..
            Semoga dengan terselesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman sekalian.
Malang, September 2014

Penulis

Kelompok 2



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti kita ketahui, Alquran merupakan salah satu sumber hukum Islam yang keorisinalitasnya dapat dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun makna. Selain itu seluruh ayat dalam Alquran dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik hafalan maupun tulisan.Alquran tidak terlepas dari aspek qira’at, karena pengertian Alquran itu sendiri secara lughat (bahasa) berarti ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qira’at Alquran disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Kemudian sahabat meneruskan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, qira’at pernah diragukan keberadaannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi qira’at yang berkembang pada masa itu. Berbagai versi qira’at Alquran tersebut ada yang berkaitan dengan lafadz dan dialek kebahasaan. Perbedaan yang berkaitan dengan lafadz bisa menimbulkan perbedaan makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum yang berbeda dengan versi qira’at sebagaimana terbaca dalam mushaf yang dimiliki kaum muslimin sekarang. Perbedaan ini dapat menimbulkan istinbath hukum yang berbeda pula.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at agar kita dapat mengetahui pengertian dan latar belakang perbedaan qira’at serta pengaruhnya terhadap istinbath hukum dalam Alquran.


B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian dari Qiraat Al Quran?
2.      Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qiraat?
3.      Macam-macam Qiraat Al Quran?
4.      Urgensi mempelajari Ilmu Ilmu Qiraat?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Qiraat Al Quran
2.      Untuk mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi Qiraat Al Quran
3.      Untuk mengetahui macam-macam Qiraat Al Quran
4.      Untuk mengetahui urgensi mempelajari Qiraat Al Quran


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qiraat
Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang dkemukakan para ulama :
1.      Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[1]
2.      Menurut Ibn al Jazari.
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[2]
3.      Menurut al-Qasthalani
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan. [3]
4.      Menurut az-Zarkasyi
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya. [4]


B.     Latar belakang timbulnya Qiraat
1.      Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: Suatu ketika Umar bin Khathtab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an  ini diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,” [5]

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.

2.      Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
Menurut  analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :

a)         Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ....... {النساء : 37}
Artinya : ” …(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir …” (Q.S. An.Nisa (4) : 37)
b)         Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19 :
رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
c)         Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا {البقرة : 259}
artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf  Zai diganti dengan huruf ra’ sehingga berubah bunyi  menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d)        Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5
َتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ {القارعة : 5}
artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e)         Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بَالْحَقِّ. {ق: 19}
artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
f)          Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25
جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْ تِهَا اْلأَنْهَارُ {البقرة : 25}
artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah. [6]

C.     Penyebab Perbedaan Qira’at
1.      Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya,  nabi memakai beberapa versi qiraat.[7]
2.      Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin.[8]
3.      Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an[9]
4.      Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.[10]







D.    Macam-macam Qiraat
1.      Dari segi kuantitas
a)      Qira’ah Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah imam-imam qira’at yang tujuh, mereka adalah:
v  Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah. Ad-Dari berasal dari generasi At-Tabi’in qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
v  Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah dari 70 orang Tai’in.
v   Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi.
v  Abu Amar (wafat 154 H) dari Bsrah, Irak. Ia meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin Jabr.
v  Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
v  Hamzah (wafat 188 H) Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi, dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin Thalib dan Mas’ud.
v  Ashim (wafat 127 H). Ia belajar qira’at dari Dzar bin Hubaisy, dan Abdullah bin Mas’ud.
b)      Qira’at Asyarah (Qira’at sepuluh).
Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at berikut:
v  Abu Ja’far, memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperoleh nya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperoleh nya langsung dari Nabi.
v  Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung dari Rasulullah SAW
v  Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.[11]

c)      Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas).
Yang dimaksud qira’at empat belas adalah Qira’at sepuluh diatas ditambah  dengan empat qira’at dibawah ini:
v  Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang Tabi’in besar yang terkenal kezahidan nya.
v  Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia adalah guru Abi ‘ Amr
v  Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi (wafat 202 H). Ia mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
v   Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H)[12]







2.      Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
a)      Qira’at Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk kedalam bagian ini.
b)      Qira’at Mansyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas Mutawatir, sesuai kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
c)      Qira’at Ahad, yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan kaidah bahasa Arab, ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d)     Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qira’at ini.
e)      Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam.
f)       Qira’at yang menyerupai Hadits Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. [13]






E.     Urgensi Mempelajari Qiraat
1.      Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
2.      Menarjih hukum yang diperselisih kan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdeka kan abid. Tambahan  kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdeka kan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif kifaratnya.
3.      Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya dengan  يَطَّهِّرْنَ (sementara dalam mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ), dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
4.      Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
5.      Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصُّوْفِ  الْمَنْفُوْشِ
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِ adalah الصُّوفِ .



















BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup, dari uraian-uraian pada bab pembahasan di atas, dapat kami ambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.      Qiraat menurut bahasa adalah bacaan. Namun pengertian secara istilah banyak sekali definisi yang  diberikan oleh para ulama. Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad.
2.      Latar Belakang timbulnya Qiraat al-Quran menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
3.      Dari segi kuantitas, qiraat terbagi atas tiga bagian, yaitu Qiraat Sab’ah, Qiraat ‘Asyrah, dan Qiraat ‘Arba’ata ‘Asyar. Sedangkan dari segi kualitas terbagi atas enam macam, yaitu Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syadz, Maudlu, dan yang menyerupai hadits mudraj (sisipan).
4.      Adapun urgensi mempelajari qiraat adalah:
Ø  Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
Ø  Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.
Ø  Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
Ø  Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula
Ø  Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya.





DAFTAR PUSTAKA

As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, 1972, Ilmu-Ilmu Al-Quran, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada, Jakarta.
Anwar, Rosihan, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2008
Al A’zami, M. M,  Sejarah Teks Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press. 2005
Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1998
Marzuki, Kamaludin, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. 1992
Soleh & Dahlan, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an), Bandung: CV Diponegoro, Bandung, 2000
Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999



[1] Muhamad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani, Manhil al-Irfan, Beirut : Daar al Fikr, tt, jilid I, Hlm. 412
[2] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Bandug : Pustaka Setia, 2000. Hlm. 147
[3] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 147
[4] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 147
[5] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 157
[6] Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an, hlm. 110-112
[7] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 157
[8] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, Hlm. 157
[9] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 157
[10] Quraish Shihab. Hlm 99-100
[11] Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. Hlm 104-105
[12] Kamaludin Marzuki, Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Rosdakarya. Hlm 104-105
[13] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, Op. Cit Hlm. 151-154

0 comments:

Post a Comment