Friday, December 13, 2013

Sejarah Peradaban Islam




MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
Perkembangan ilmu pengetahuan era keemasan Islam dan tokoh-tokoh peradaban Islam (masa Umayyah dan Abbasiyah)

Di susun oleh:
AHMAD NAFIS SYAHRONI         (13650131)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS SAINTEK JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Masa keemasan Islam yang juga dinilai sebagai fase perkembangan terpenting bagi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu umum ini terjadi pada kurun waktu abad ketiga sampai kelima hijriah. Periode ini menjadi sangat terkenal dengan munculnya gerakan intelektual dalam sejarah Islam, sehingga dikenal sebagai kebangkitan dalam sejarah pemikiran, peradaban, budaya dan ilmu pengetahuan. Perkembangan keilmuan dapat dilihat dari keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan serta banyaknya karya-karya besar dari tokoh-tokoh tersebut. Bidang keilmuan yang berkembang sangat pesat antara lain bidang fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi. Bahkan bidang-bidang keilmuan umum seperti halnya ilmu kedokteran (kimia murni maupun terapan) sebagai dasar ilmu farmasi, filsafat, matematika, astronomi, optika, dan sastra. Selain dalam segi pendidikan, kekuasaan Abbasiyah atas umat Islam juga mengantarkan pada zaman pemerintahan yang kuat terpusat, kesejahteraan ekonomi yang tinggi dan peradaban yang luar biasa.
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur sebaliknya dunia Barat masih berada dalam keadaan kegelapan, bodoh dan primitif. Ketika itu dunia Islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium, sedangkan dunia Barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa serta kekangan golongan Gereja yang membuat para ilmuwan tidak dapat mengembangkan keilmuannya. Perkembangan intelektual Islam ini disebabkan agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. telah mendorong untuk menumbuhkan budaya baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu pengetahuan dalam lapangan agama (ilmu aqli), sehingga bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukan perbendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari perbendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan bidang akal (ilmu aqli). Perkembangan ilmu pengetahuan baik berupa ilmu agama maupun ilmu umum yang ada pada masa keemasan Islam ini tidak terlepas dari lahir dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa itu. Mulai dari lembaga pendidikan yang sifatnya sederhana dan dapat dikatakan sebagai pendidikan tingkat rendah hingga lembaga pendidikan yang telah modern.

B.        









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Latar Belakang Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Di masa pemerintahan Bani Abbas ini muncul perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani bahkan mencapai puncak keemasannya, teutama pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Di zaman Harun al-Rasyid (785-809 M) banyak sekali kontribusi besar yang telah disumbangkan oleh khalifah dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Hal itu tidak jauh berbeda dengan putranya Al-Ma’mun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa dinasti Bani Abbas, diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Adanya gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan buku-buku itu berjalan kira-kira satu abad.
Kedua, banyaknya ilmuwan yang hidup pada masa Dinasti Bani Abbas yang memberikan corak dan sumbangan terhadap dunia ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Ketiga, adanya persamaan dalam hal superioritas antara bangsa Arab dan Bangsa non-Arab sehingga banyak menyumbangkan pemikir-pemikir yang handal tanpa memandang kesukuan dan bangsa.
Keempat, adanya dukungan khalifah-khalifah yang sangat mencintai terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yaitu khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya para pembesar istana Bani Abbas adalah para cendekiawan-cendekiawan Persia yang turut mempengaruhi kehidupan istana. Salah satu yang terbesar dan banyak berpengaruh  pada mulanya adalah keluarga Barmak. Jabatan wazir yang diberikan oleh Al-Mansur kepada Khalid Ibn Barmak yang kemudian secara turun-temurun diwariskan kepada anak dan cucu-cucunya.
Keluarga Barmak adalah sebuah keluarga yang berasal dari Balkh (Bactra), pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia, yang mempunyai pengaruh dalam memperkembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Baghdad. Mereka, di samping menjadi wazir, juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah. Disamping itu, khalifah-khalifah terutama Harun Al-Rasyid mengambil wanita-wanita Persia sebagai Istri dan dari perkawinan ini muncullah khalifah-khalifah yang mempunyai darah Persia, seperti khalifah Al-Ma’mun.
Oleh karena itu, Khalifah Al-Ma’mun adalah salah satu putera Khalifah yang mendapat pendidikan keluarga Barmak yang merupakan cendikiawan Persia. Berkat didikan keluarga Barmak inilah Al-Ma’mun menjelma menjadi sosok khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut sebuah riwayat dikisahkan bahwa Al-Ma’mun sudah menguasai filsafat Yunani Kuno karya Plato dan Aristoteles, sehingga tidak disangsikan lagi bahwa pada kemudian hari Al-Ma’mun sangat gemar sekali terhadap dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Salah satu kontribusi besar Al-Ma’mun dalam dunia ilmu pengetahuan adalah dengan dibangunnya pusat penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kuno, India kuno kedalam bahasa Arab yang dikenal dengan Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan).

B.       Perkembangan Ilmu Umum pada Masa Keemasan Islam
Telah kita maklumi bahwa Islam pada masa kejayaan (keemasan)-Nya, banyak sekali menyumbangkan berbagai peradaban di pentas dunia. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh islam yang diakui sebagai tokoh dunia diberbagai bidang keilmuan. Tidak heran jika pada saat ini, teori-teori berbagai ilmu pengetahuan berkiblat pada ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh ilmuwan Muslim pada Masa Kejayaan Islam yang memang teori-teorinya diterima dan diakui dunia.
Pada dasarnya, sebelum Islam menemukan puncak kejayaannya, di Eropa pernah mendapati sebuah kemajuan yang signifikan yaitu pada saat ia dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Yunani, sehingga ilmuwan Muslim harus memadukan antara peradaban Yunani dengan Peradaban Arab, baik dari segi pemikiran maupun kebudayaan bahkan ilmu pengetahuan seperti misalnya tokoh Ibnu Sina yang dikenal dengan nama  Avesena oleh kalangan barat, Ibnu Rusyd yang dikenal dengan nama Averoues dan lainnya.
Peda masa kejayaan Islam itu banyak sekali cabang-cabang ilmu pengetahuan yang muncul dan berkembang dengan pesat sebagaimana kita ketahui dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu antara lain: ilmu kedokteran (kimia murni maupun terapan) sebagai dasar ilmu farmasi,  filsafat, matematika, astronomi, optika, sastra. dan lain sebagainya.

1.        Kemajuan dalam Bidang Sains dan Teknologi
a)        Kajian dalam Bidang Kedokteran
Ilmu Kedokteran “Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,
''Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam. Kontribusi peradaban Islam dalam dunia kedokteran sungguh sangat tak ternilai. Di era keemasannya, peradaban Islam telah melahirkan sederet pemikir dan dokter terkemukan yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai peradaban pertama yang mempunyai Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional. Dunia kedokteran Islam di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya yang menjadi literatur keilmuan Dunia. Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah dinasti Umayyah, yang memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi Helenistik.


Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti Umayyah diceritakan memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan penterjemhan dari bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah buku pegangan medis abad ketujuh yang ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.
Pengalih bahasaan literatur medis meningkat drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan dalam kegiatan ini. Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w. 857), Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal.
Perkembangan tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan John dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran India. walaupun keilmuan kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya sumber dan praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani menjadi dominan, khususnya helenistik, John Esposito mengatakan “satu kesadaran atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong untuk pendekatan kritis dan selektif “. Seperti dalam sains Arab awal.
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) dan “Al-Hawi”.
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik kedokteran. Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa mereka masih terasa hingga abad 19 M. Psikoterapi, serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina, ini diperkenalkan lagi oleh Abdel-Latief pada abad ke-12 M . yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat digunakan untuk membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.
Metode-metode ini banyak disadur dan dikembangkan dalam dunia modern. Hingga istilah dan penyebutannya pun berbeda. Misalnya, kometerepi, di dunia modern bisa digunakan kombinasi sitostika dan disebut regimen kometerapi. Padahal sebelumnya penggunaan kometerapi digunakan satu jenis saja. Kometerapi pertama modern adalah asrsphenamine karya Paul Ehrlich, sebuah Arsenic komplel ditemukan pada tahun1909 dan digunakan untuk merawat sipilis . Dan tentunya masih banyak lagi metode terapi atau cara pengobatan lain dari khaazanah ilmu kedokteran Islam.
Abad ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda aktivitas kedokteran, ketika para dokter dari seluruh dunia Muslim mengejar karir institusi medis di Damaskus dan Kairo. Karena sudah banyak Rumah Sakit yang didirikan dan memerlukan lebih banyak dokter dalam pengoprasiaanya. Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran adalah Institusi pendidikan seperti madrasah (sekolahan).
Di Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din al-Dakhwar membuat sebuah sekolahan dalam rangka pengajaran kedokteran eksklusif. Sekolah tersebut disambut gembira oleh pemimpin otoritas keagamaan kota tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Rumah sakit merupakan salah satu prestasi institusional terbesar masyarakat Islam abad ke-9 dan ke-10 lima RS dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling terkenal adalah RS Adudi yang dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 98.
Ketika institusi terkenal seperti RS Nuri di Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri di Kairo (abad ke-13) dibangun bersamaan dengan RS lain di Qayrawan, Mekkah, Madinah, dan Rayy. Dalam RS lebih maju terdapat berbagai fasilitas seperti apa yang telah dijelaskan. Termasuk apotek (toko obat) khusus untuk melayani pembelian obat masyarakat umum. Berbicara mengenai apotek, Islam juga mewarisi apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman dulu. Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble contributions of Al-Razi in the History of pharmacy during the middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu Baghdad sudah menjadi Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern, harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain seperti yang kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu kedokteran. Dia adalah Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-Razi.
Menempati bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi. Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (dikota yang sama pada tahun 925 M). Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai seorang pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan sarjana barat. Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar dalam buku Al-Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan rohani). Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang kedokeran menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di Baghdad. Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans, maju dibidang teori, dia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.
Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan itu dilakukan, agar dapat membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh yang kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat cuci perut). Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan observasi medis untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan penawarnya (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada observasi klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan peran utama dalam strukturisasi dan organisasi pengetahuan medis. Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya bergerak dalam ranah teori atau wacana, tapi juga harus didukung pengamatan empiris (klinis).
Hal itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun ditulis dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai kedokteran, yang sangat komprehensif sekaligus teoritis. Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi, patologi dan akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.

b)        Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan boleh dikatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Banyak para tokoh muslim yang menekuni ilmu filsafat baik filsafat islam maupun filsafat umum  antara lain: Ibnu Bajjah, al-Kindi, Al-razi, Al-Farabi, Ibnu sina, Ibnu Rusyd dan lainnya.

Ø  Ibnu Bajjah.
Khalifah yang berperan dalam memajukan filsafat pada masa kejayaan Islam adalah Al-Hakam, Ia mempunyai inisiatif untuk mengimpor karya-karya ilmiah dan filosofis dari timur dalam jumlah besar sehingga di cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu manyaingi baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan, sehingga muncul tokoh utama filsafat yaitu Abu Bakar Muhammad Ibn Al-Sayikh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah.

Ø  Al-Kindi
Selain Ibnu Bajjah, Al-Kindi adalah seorang Filusuf Islam yang belajar di Basrah, Ia mahir berbagai macam ilmu pengetahuan antara lain Filsafat, ilmu hitung, mantiq, kedokteran geometri dan astronomi, Ibnu Rusyd, adalah seorang filosof yang yang mengikuti jejak Aristoteles dengan ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan Agama.

Ø  Al-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibnu zakaria Ibnu Yahya Al-Razi Seorang Filosof yang lahir pada masa kejayaan Islam Tahun 192 H/808 M. Al-Razi adalah seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai kekuatan akal, bahkan dalam bidang kedokteran studi klinis yang dilakukannya telah menemukan nmetode yang kuat yang berpijak pada observasi dan experimen. Dengan demikian, Al-Razi adalah salah seorang filosof yang hanya mengandalkan akal tanpa menghiraukan kekuasaan Tuhan.

Ø  Al-Farabi
Nama Lengkapnya adalah Abu Nashar bin Muhammad bin Mohammad bin Tharkhan bin Unzalagh. Dalam bidang  filsafat, etika, dan kemasyarakatan, Al-Farabi tidak kurang dari delapan belas tulisannya, tiga diantaranya adalah: Ar-Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (pandangan-pandangan para penghuni Negara Yang Utam), Tahsil Al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan) dan Al-Siyasah Al-Madaniyah (Politik Kenegaraan).

c)      Perkembangan Kajian Ilmu Astronomi dan Matematika
Perkembangan ilmu astronomi dan matematika mulai berkembang pada masa pemerintahan al-Ma’mun. Kajian tentang perbintangan dalam islam mulai dilakukan seiring dengan masuknya pengaruh buku India, Siddanta (bahasa Arab, Sindhind) yang dibawa ke Baghdad pada tahun 771 M, diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari, dan digunakan sebagai acuan oleh para sarjana pada masa selanjutnya. Table berbahasa Pahlawi (zik) yang dihimpun pada masa Daulah Sasaniyah ikut dimasukkan dalam bentuk terjemahan (zij). Unsure-unsur Yunani, yang baru muncul belakangan, termasuk diantara unsure penting yang pertama. Terjemahan awal karya Ptolemius, Almagest, disusul kemudian oleh dua karya yang lebih unggul yakni karya al-Hajjaj ibn Mathar yang selesai ditulis pada tahun 212 H/827-828 M, dan karya Hunayn ibn Ishaq yang direvisi oleh Tsabit ibn Qurrah (w. 901 M).
Pada awal abad ke-9 M, sebuah observasi (rasyd) rutin pertama dengan menggunakan peralatan yang cukup akurat dilakukan di Jundaysabur (Persia sebelah barat daya). Berdekatan dengan Bayt al-Hikmah, di pintu masuk Syammasiyah Baghdad, al-Ma’mun membangun sebuah observatorium dengan supervisor seorang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind ibn ‘Ali dan Yahya ibn abi Manshur (w. 830 atau 831 M).
Di observatorium itu para astronom kerajaan tidak hanya mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-benda langit, tetapi juga menguji semua unsure penting dalam almagest dan menghasilkan amatan yang sangat akurat dalam mengukur sudut ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari, panjang tahun matahari, dan sebagainya.
Al-Ma’mun membangun lagi sebuah observatorium di bukit Kasiyun di luar Damaskus. Perangkat observasi pada masa itu terdiri atas busur 90°, astrolob, jarum penunjuk, dan bola dunia. Ibrahim al-Fazari (w. 777 M) adalah orang islam pertama yang membuat astrolob, yang meniru bentuk astrolob Yunani, seperti yang terlihat dari namanya dalam bahasa Arab (asthurlab). Salah satu risalah tentang perangkat ini ditulis oleh ‘Ali ibn ‘Isa al-Asthurlabi (pembuat asthurlab) yang tinggal di Baghdad dan Damaskus sebelum 830 M.
Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu adalah Abu al-‘Abbas ahmad al-Farghani (alfraganus) dari daerah Fargana Transoxiana, yang diserahi tugas oleh khalifah al-Mutawakkil untuk mengawasi pembangunan sebuah Nilometer di Fushtat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil ila ‘Ilm Hayah al-Aflak, diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh John dari Seville dan Gerrad dari Cremona, ke bahasa Ibrani pada tahun 1131 M dalam versi bahasa Arab, buku itu ditemukan dengan judul yang berbeda. Antara tahun 877 dan 918 M, Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir al-Battani (albategnius) seorang ahli astronomi bangsa Saba yang terbesar pada masa Islam. Ia membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari cincin, menentukan sudut ekliptik bumi dengan tingkat keakuratan yang lebih besar, dan mengemukakan berbagai teori orisinal tentang kemungkinan munculnya bulan baru.
Dalam ilmu pengetahuan alam, seorang ilmuwan muslim yang terkenal adalah Abu al-Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1050 M) yang tinggal di Baghdad. Al-Biruni dipandang sebagai sarjana Islam paling orisinal dan terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Al-Biruni menulis sebuah catatan tentang ilmu astronomi berjudul al-Qanun al-Mas’udi fi al-Hay’ah wa al-Nujum yang dipersembahkan untuk sahabatnya Mas’ud putera Mahmud. Ia juga menulis buku yang berjudul al-Tafhim li Awa’il Shina’ah al-Tanjim, yang terutama membahas berbagai perhitungan tahun, dan masa hidup bangsa-bangsa pada masa silam. Selain itu ada juga seorang ahli matematika dan astronomi yang terkenal dengan usahanya dalam membuat sebuah kalender yang diberi nama dengan nama sultan, al-Tarikh al-Jalali yang bahkan lebih akurat daripada kalender gregorius, yang keliru satu hari dalam 3330 tahun.
Adapun dalam bidang astrologi yang merupakan ilmu pendukung astronomi telah dikenal salah seorang astrolog pada masa itu yakni Abu Ma’syar (w. 886 M), yang berasal dari Khurasan dan tinggal di Baghdad. Empat karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin pada abad ke-12 oleh John dari Seville dan Adelard dari Bath. Selain keyakinan fantatisnya akan pengaruh benda langit terhadap kelahiran, kejadian dalam hidup, dan kematian segala sesuatu, Abu Ma’syar juga memperkenalkan ke Eropa hukum pasang surut air laut, yang ia jelaskan dalam kaitannya dengan timbul dan tenggelamnya bulan.
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780 sampai ± 850 M), adalah tokoh utama dalam kajian matematika Arab. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, ia telah mempengaruhi pikiran dalam bidang matematika. Disamping telah menyusun table astronomi tertua, al-Khawarizmi juga menulis karya tentang aritmatika dan aljabar. Karyanya yang berjudul, Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah, yang dilengkapi lebih dari 800 contoh yang sebagian diantaranya diambil dari contoh yang diberikan oleh orang Neo-Babilonia, merupakan karya utamanya, yang masih ditemukan dalam bahasa aslinya. Orang yang terpengaruh oleh pemikiran aljabar matematika al-Khawarizmi salah satunya adalah ‘Umar al-Khayyam. Aljabar al-Khayyam yang merupakan pengembangan dari teori aljabar al-Kahwarizmi, membahas solusi pecahan tingkat dua dengan menggunakan geometrid an aljabar (geometric and algebraic solutions of equations of the second degree) dan pengelompokkan pecahan yang menakjubkan.
d)     Perkembangan dalam Bidang Kimia
Setelah ilmu kedokteran, astronomi dan matematika, orang-orang muslim pada masa Daulah ‘Abbasiyah telah memberikan kontribusi ilmiah terbesar dalam bidang kimia. Dalam ilmu kimia dan ilmu pengetahuan fisika lainnya orang Arab telah memperkenalkan tradisi penelitian objektif, sebuah perbaikan penting terhadap pemikiran spekulatif orang Yunani. Bapak kimia bangsa Arab adalah Jabir ibn Hayyan (Geber), hidup di Kuffah sekitar 776 M setelah al-Razi (w. 925 M), ia merupaka  tokoh terbesar dalam bidang ilmu kimia pada abad pertengahan. Seperti orang Mesir dan Yunani Jabir percaya bahwa logam biasa seperti seng, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas, atau perak dengan formula tertentu dan sangat rahasia (misterius). Buku-buku yang ditulis oleh Jabir ibn Hayyan diantaranya adalah Kitab al-Rahmah (Buku Cinta), Kitab al-Tajmi’ (Buku tentang Konsentrasi), al-Zibaq al-Syarqi (Air Raksa Timur). Salah satu keberhasilan Jabir ibn Hayyan adalah berhasil menggambarkan secara ilmiah dua operasi utama kimia yaitu kalnikasi dan reduksi kimiawi. Ia memperbaiki berbagai metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi.
e)      Perkembangan dalam Kajian Ilmu Geografi
Kewajiban melaksanakan ibadah haji, keharusan menghadapkan mihrab masjid ke arah Mekah, dan penentuan arah kiblat ketika shalat telah memberikan nilai keagamaan kepada orang Islam dalam mempelajari geografi. Berdasarkan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para saudagar dan pedagang muslim pada waktu itu dan menggambarkan tentang keadaan suatu wilayah yang disinggahinya telah membangkitkan minat masyarakat untuk pergi ke berbagai negeri yang jauh dan bertemu dengan orang-orang asing.
Perkembangan geografi sehingga menjadi salah satu disiplin ilmu banyak dipengaruhi oleh khazanah Yunani dalam bidang ini. Buku Geography karya ptolemius, yang menyebutkan berbagai tempat berikut garis bujur dan lintang buminya, diterjemahkan beberapa kali ke dalam bahasa Arab langsung dari bahasa aslinya atau dari terjemahannya dalam bahasa suriah, terutama oleh Tsabit ibn Qurrah (w. 901 M). Dengan meniru buku itu, Khawarizmi menyusun karyanya, Surah al-Ardh (gambar/peta bumi), yang menjadi acuan karya-karya berikutnya, dan berhasil membangkitkan semangat dalam pengembangan ilmu geografi dan penulisan risalah geografis yang orisinal.
Risalah-risalah geografis bahasa Arab pertama yang independen biasanya berbentuk buku petunjuk jalan, terutama yang menunjukkan tempat-tempat penting. Ibn Khurdadzbih (w. ± 912), seorang keturunan Persia, direktur pos dan intelijen di al-Jibal (media), mengawali serangkaian risalah geografis itu dengan karyanya, al-Masalik wa al-Mamalik. Selain Ibn Khurdadzbih ada juga penulis risalah geografis belakangan yaitu Ibn Wadhih al-Ya’qubi yang menulis Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri), setelah itu muncul pula tulisan Qudamah yang menulis buku al-Kharaj yang menjelaskan tentang pembagian wilayah kekhalifahan ke dalam berbagai propinsi, organisasi layanan pos, dan pajak setiap wilayah.
f)       Perkembangan dalam Kajian Ilmu Historiografi
Kebanyakan tulisan sejarah berbahasa Arab paling awal berasal dari masa Daulah ‘Abbasiyah. Tema utama yang menjadi tulisan sejarah berasal dari legenda dan anekdot yang terkait dengan masa-masa pra Islam, dan tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Tentang masa pra-Islam tercatat nama Hisyam al-Kalbi (w. 819 M) dari Kufah. Dari 129 karyanya, hanya tiga karyanya yang masih ada; namun berbagai bagian tulisan dari karya-karya lainnya dapat dibaca dalam bentuk kutipan dalam karya-karya al-Thabari, Yaqut, dan para penulis sejarah lainnya.
Karya pertama yang didasarkan atas tradisi keagamaan adalah Sirah Rasul Allah, sebuah biografi Nabi karya Muhammad ibn Ishaq dari Madinah. Kemudian muncul karya tentang peperangan dan penaklukan Islam paling awal, Maghazi, karya Musa ibn ‘Uqbah (w. 758 M), al-Waqidi (w. 822), yang keduanya berasal dari Madinah. Dua sejarawan utama yang menulis tentang penaklukan-penaklukan Islam adalah Ibn ‘Abd al-Hakam (w. 870-871 M) dari Mesir, yang karyanya, Futuh Mishr wa Akhbaruha, menjadi dokumen tertua tentang penaklukan Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol, serta Ahmad ibn Yahya al-Baladhuri (w. 892 M) dari Persia yang menulis dalam bahasa Arab. Karya Utamanya berjudul Futuh al-Buldan dan Anshab al-Ashraf, (Buku Genealogi para Bangsawan. Al-Baladhuri merupakan orang pertama yang merangkum berbagai cerita penaklukan berbagai kota dan negeri ke dalam satu satu kompedium, dan mengakhiri penggunaan menograf sebagai sumber penulisan sejarah.
Diantara sejarawan formal pertama adalah Ibn Qutaybah, yang nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslim al-Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal di Baghdad pada tahun 889 M setelah menuntaskan penulisan bukunya yang berjudul Kitab al-Ma’arif (Buku Pengetahuan) sebuah buku pegangan sejarah. Sejarawan muslim paling menonjol pada masa itu adalah al-Thabari dan al-Mas’udi.
Ketenaran Abu Ja’far Muhammad ibn al-Thabari (838-923 M), yang lahir di Tabaristan, adalah karena buku sejarahnya yang sangat terperinci dan akurat yaitu Tarikh al-Rasul wa al-Muluk (Sejarah Rasul dan Para Raja), dan juga dikenal karena tafsir Alqur’annya. Dengan tafsirnya, yang awalnya disusun dalam skala pembahasan yang lebih luas, ia bukan saja telah membangun tradisi tafsir paling awal, tapi juga menulis kitab tafsir paling tebal. Tafsirnya menjadi karya standar yang diikuti oleh para penafsir Alqur’an belakangan. Karyanya yang monumental tentang sejarah dunia, yang juga merupakan buku sejarah terlengkap dalam bahasa Arab, telah menjadi sumber rujukan para sejarawan berikutnya, seperti Miskawayh, Ibn al-Atsir, dan Abu al-Fida. Seperti kebanyakan sejarawan muslim, al-Thabari mengisahkan berbagai peristiwa secara kronologis, dan memasukkannya kedalam daftar berdasarkan tahun Hijriah.
Abu al-Hasan ‘Ali al-Mas’udi adalah salah satu sejarawan muslim yang lainnya yang terkenal, bahkan ia dijuluki sebagai “Herodotus bangsa Arab”. Ia memprakarsai metode tematis dalam penulisan sejarah. Metode yang dilakukan oleh al-Mas’udi bukan berdasarkan kepada tahun kejadian seperti halnya yang dilakukan al-Thabari, akan tetapi mengelompokkan peristiwa berdasarkan Daulah, raja, dan masyarakatnya, yang kemudian diikuti oleh Ibn Khaldun dan sejarawan lainnya.


2.        Kemajuan dalam Bidang Keagamaan
a.       Perkembangan dalam Kajian Teologi dan Hadis
Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa paling awal tertuju pada cabang keilmuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan Alqur’an, kemudian menjadi landasan kajian teologis dan linguistik yang serius. Interaksi dengan dunia Kristen pada abad pertama Hijriah di Damaskus telah memicu timbulnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan madzhab pemikiran Murji’ah dan Qodariah. Pada masa Dinasti Bani Abbas perkembangan teologis yang dominan pada saat itu adalah Mu’tazilah karena dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Teologi Mu’tazilah banyak dianut oleh golongan elit istana kekhalifahan dan cendekiawan. Bahkan khalifah Al-Ma’mun memjadikan teologi Mu’tazilah sebagai teologi resmi Negara. Namun pada masa itu lahir pula teologi Ahlussunnah yang dideklarasikan oleh Abu al-Hasan al-‘Asy’ari dan Al-Maturidi pada abad ke IX dan X Masehi.
Bidang kajian berikutnya adalah hadis (sunnah), yaitu perilaku, ucapan, dan persetujuan (taqrir) Nabi, yang kemudian menjadi sumber ajaran paling penting setelah Alqur’an. Pada awalnya hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut, kemudian hadis nabi direkam dalam bentuk tulisan pada abad kedua Hijriah. Oleh karena itu, hadis didefinisikan sebagai catatan perilaku atau perkataan Nabi. Dalam pengertian yang lebih umum, hadis juga didefinisikan sebagai catatan perilaku atau perkataan para Sahabat dan Tabi’in.
 meskipun tidak setara dengan Alqur’an, hadis nabi memiliki pengaruh yang sama terhadap pemikiran Islam. Dalam hadis, Nabi Muhammad saw yang berbicara, sedangkan dalam Alqur’an Allah yang berfirman. Dalam hadis hanya maknanya yang diwahyukan sedangkan dalam Alqur’an, ungkapan verbal dan maknanya merupakan wahyu Allah.
Selama dua setengah abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, catatan tentang perkataan dan prilakunya terus bertambah. Terhadap berbagai persoalan baik itu persoalan agama, politik, atau social, setiap kelompok berusaha mencari hadis untuk memperkuat pendapatnya, baik itu hadis shahih maupun hadis palsu. Perseteruan politik antara ‘Ali dan Abu Bakr, konflik antara Mu’awiyah dan ‘Ali, permusuhan antara Daulah ‘‘Abbasiyah dan Daulah Umayyah, serta persoalan superioritas anatara orang Arab dan non-Arab, membuka pintu yang sangat lebar untuk menjamurnya pemalsuan hadis.
Abad ke-3 Hijriah menyaksikan penyusunan enam kitab hadis yang sejak saat itu menjadi kitab hadis standar. Dari “enam kitab hadis” itu, yang paling pertama dan paling otoritatif adalah yang dihimpun oleh Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870 M). Al-Bukhari adalah seorang keturunan bangsa Persia. Ia memilih 7.397 dari 600.000 hadis yang ia peroleh dari 1.000 guru dalam rentang waktu 16 tahun perjalanan, dan kerja kerasnya di Persia, Irak, Suriah, Hijaz dan Mesir. Kitab hadis al-Bukhari memiliki pengaruh paling besar terhadap pola piker orang islam setelah Alqur’an.
Setelah kitab hadis al-Bukhari, posisi kedua ditempati oleh kitab hadis karya Muslim ibn al-Hajjaz (w. 875 M) dari Naisabur, sebuah karya yang memiliki judul serupa yakni al-Shahih, yaitu kumpulan hadis shahih. Hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim juga hamper sama dengan hadis dalam kitab al-Bukhari, meskipun dengan sanad yang berbeda. Seteleah kedua kitab hadis tersebut, posisi berikiutnya ditempati oleh empat koleksi hadis lain yang dianggap sacral oleh umat islam. Keempat koleksi hadis itu adalah Sunan Abu Dawud dari Bashrah (w. 888), Jami‘ al-Tirmidzi (w. 892 M), Sunan Ibn Majah dari Qazwin (w. 886 M) dan  Sunan al-Nasa’i, yang meninggal di Mekah pada tahun 915 M.
b.      Perkembangan dalam Kajian Hukum dan Etika (Akhlaq) Islam.
Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa pada abad pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprudensi, dan darinya berkembang sebuah system yang independen. System tersebut dinamakan dengan Fiqh, yang pada prinsipnya didasarkan atas Alqur’an dan sunnah (hadis). Fiqh adalah ilmu yang memuat berbagai hukum Islam (Syari’ah), meliputi seluruh perintah Allah swt sebagaimana tertuang dalam Alqur’an dan diuraikan dalam hadis yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Perintah-perintah itu meliputi aturan-aturan yang terkait dengan praktik ibadah, kewajiban sipil, dan hukum (mu’amalah), dan hukuman (‘uqubat).
Dari sekitar 6.000 ayat Alqur’an, hanya sekitar 200 ayat yang bias disebut ayat-ayat hukum yang kebanyakan merupakan ayat-ayat Madaniyah terutama surat ke-2 (al-Baqarah) dan ke-4 (al-Nisa‘). Terlihat jelas bahwa berbagai ketentuan hukum di dalamnya tidak cukup memadai untuk menangani semua kasus yang dihadapi umat islam dalam berbagai kondisi dan situasi baru di Suriah, Irak, dan wilayah lain yang baru ditaklukkan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pemikiran spekulatif yang melahirkan dua prinsip baru yaitu qiyas (deduksi analogis) dan ijma‘ (kesepakatan bersama). Jadi, yurisprudensi Islam memiliki sumber baru disamping Alqur’an dan hadis. Adapaun tentang ra’y, yaitu penalaran rasional, meskipun sering dijadikan sandaran, ia hamper tidak dipandang sebagai sumber hukum kelima.
Karena perbedaan kondisi social dan latar belakang budaya dan pemikiran setiap wilayah, pemikiran hukum islam pada gilirannya berkembang kedalam sejumlah Madzhab pemikiran yang berbeda. Madzhab pemikiran Irak, misalnya, lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hukum ketimbang madzhab Madinah yang lebih bersandar pada hadis. Tokoh paling terkenal dalam madzhab ini adalah Abu Hanifah, yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit. Ia hidup di Kufah dan Baghdad, dan meninggal pada tahun 767 M. ia bekerja sebagai seorang pedagang. Abu Hanifah menjadi ahli hukum pertama dan paling berpengaruh dalam Islam. Ajaran yang ia sebarkan secara lisan kepada muridnya yang salah satu diantaranya adalah Abu Yusuf (w. 798 M) telah mewariskan pendapat gurunya dalam karyanya, Kitab al-Kharaj. Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah menekankan prinsip “prefensi” atau Istihsan, yang melepaskan diri dari ikatan analogi untuk mengejar keadilan yang lebih besar.
Pemimpin madzhab Madinah, yang lebih akrab dengan pola pikir Nabi, adalah Malik ibn Anas (715-795 M), yang karyanya, al-Muwaththa merupakan kitab hukum Islam tertua yang pernah ditemukan. Karya monumental ini, dengan 1700 hadis hukum, menghimpun sunnah-sunnah Nabi, membuat rumusan pertama tentang ijma‘ (consensus) masyarakat Madinah dan menjadi kitab hukum madzhab Maliki. Dari Maroko dan Andalusia, madzhab ini telah melahirkan al-Awza’I (w 774 M) dan al-Zhahiri (815-883 M), dan hingga saat ini masih bertahan diseluruh Afrika utara, kecuali mesir bagian bawah dan Arab bagian timur. Setelah Abu Hanifah dan Malik ibn Anas, berbagai kajian hukum berkembang pesat, sehingga menjadi cabang pemikiran di dunia Islam yang dikaji secara besar-besaran.
Antara madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah yakni menerima pemikiran spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab ini didirikan oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Lahir di Gazza, Palestina pada tahun 767 M/150 H. Al-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, ia belajar kepada Malik ibn Annas di Madinah, namun aktivitasnya adalah Baghdad dan Kairo. Ia meninggal pada tahun 820 M/204 H di Kairo. Ajaran al-Syafi’i masih mendominasi Mesir bagian bawah, Afrika bagian timur, Palestina, Arab bagian barat dan selatan, wilayah pantai India dan Indonesia. Pengikutnya berjumlah sekitar 105 juta orang, sementara pengikut Hanafi 180 juta orang, pengikut Malik 50 juta orang, dan pengikut Hanbali 5 juta orang.
Madzhab keempat dan terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah madzhab Hanbali, yang mengambil nama dari pendirinya yaitu Ahmad ibn Hanbal, seorang murid al-Syafi’i, dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap bentuk inovasi kalangan Muktazilah. Meskipun telah menjadi korban inkuisisi (mihnah), dan pernah diikat dengan rantai pada masa al-Ma’mun, serta dihina, dan dipenjara oleh al-Mu’tasim, Ibn Hanbal tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mengakui berbagai bentuk modifikasi terhadap keyakinan tradisional. Sekitar 800 ribu laki-laki dan 60 perempuan yang menghadiri pemakamannya di Baghdad pada tahun 855 M menegaskan pengaruh kuat pengusung ortodoksi ini terhadap masyarakat luas. Generasi berikutnya memuliakan makamnya seperti layaknya seorang sufi dan menganugerahinya gelar Imam seperti yang mereka berikan kepada Abu Hanifah, Malik ibn Anas, dan al-Syafi’i.
Dibidang etika atau akhlaq meskipun sangat banyak jumlahnya, namun setidaknya terdapat tiga jenis karya etika. Karya-karya tersebut membahas tatanan moral yang paripurna, serta peningkatan kualitas semangat dan prilaku (adab). Beberapa karya-karya ulama pada masa itu yang membahas tentang etika/akhlaq yaitu al-Durrah al-Yatimah karya Ibn al-Muqaffa, kitab Adab al-Dunya wa al-Din karya al-Mawardi, Kitab al-Akhlaq karya Hunayn yang pada selanjutnya menjadi landasan filsafat moral Islam, serta kitab Tahdzib al-Akhlaq, merupakan karya etika terbaik yang sarat dengan nuansa filosofis yang pernah ditulis seorang muslim.

c.       Perkembangan Sastra dan Bidang Kajian Lain
Apa yang dinamakan “sastra Arab” bukanlah sastra Arab seperti halnya sastra-sastra Italia dan sastra latin pada abad pertengahan. Penulis karya sastra Arab adalah orang yang berasal dari berbagai etnis, dan secara keseluruhan mewakili monument abadi sebuah peradaban, bukan semata monumen sebuah bangsa. Sastra Arab dalam pengertian sempit, yakni adab mulai dikembangkan oleh al-Jahiz (w. 868-869 M), guru para sastrawan Baghdad, dan mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah melalui karya-karya Badi al-Zaman al-Hamadzani (969-1008 M), al-Sya’labi dari Naisabur (961-1038), dan al-Hariri (1054-1122 M). salah satu cirri penulisan prosa pada masa itu adalah kecenderungan untuk menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolik dan bersayap.
Pada masa Badi al-Zaman al-Hamadzani muncullah sebuah bentuk baru sastra yang disebut sebagai maqamah, yaitu sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman, dan kefasihan bahasanya. Pada kenyataannya, bentuk karya maqamah bukanlah karya satu orang saja, melainkan merupakan perkembangan alami dari prosa berirama, dan penyusunan kata bersayap seperti yang dilakukan oleh Ibn Durayd dan para penulis sastra lainnya. Karya al-Hamadzani merupakan model bagi al-Hariri dari Bashrah, yang selama tujuh abad maqamah-nya dipandang sebagai warisan berharga, setelah Alqur’an di bidang sastra Arab.
Bentuk sastra yang paling dikenal dunia sebagai warisan budaya paling menonjol dalam bidang sastra pada masa Daulah ‘Abbasiyah adalah Alf Lailah wa Laylah atau lebih dikenal dengan sebutan kisah seribu satu malam. Acuan penulisan sastra tersebut adalah kisah-kisah dari penutur kisah local, kisah-kisah rakyat dari timur dan Yunani terserap kedalamnya dan menjadikan istana khalifah Harun al-Rasyid sebagai sumber pengambilan berbagai anekdot lucu dan kisah romantic dalam jumlah besar.
Dalam bidang puisi dan sajak tokoh Abu Nawas adalah yang paling popular di masa ke khalifahan Harun al-Rasyid dan al-Amin. Ia merupakan seorang yang mampu menyusun lagu terbaik tentang kisah-kisah romantic bahkan anekdot-anekdot yang membuat decak kagum banyak orang. Puisi ghazal merupakan salah satu karya Abu Nawas. Tokoh Abu Nawas yang kocak dan cerdas sering membuat seluruh kehidupan istana khalifah Harun al-Rasyid menjadi lebih semarak.

C.       Latar Belakang Dinasti Abbasiyah
Nama Dinasti Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW. Yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan islam,sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi Muhammad SAW.
Pemerintahan Bani Umayyah adalah pemerintahan yang mempunyai wibawa yang besar,meliputi wilayah yang luas.Mulai dari wilayah Sind dan berahir di Spanyol. Namun hanya Dinasti ini hanya bisa bertahan kurang dari 1 abad karena kurang mendapat simpati dari rakyatnya. Hal ini yang menyebabkan munculnya Dinasti Abbasiyah.



D.      Perkembangan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah
1)      Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Proses berdirinya Dinasti Abbasiyah ini diawali dari tahap persiapan dan perncanaan yang dilakukan oleh Ali ibn Abdullah ibn Abbas,seorang zahid yang hidup pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Persiapan yang dilakukan Ali adalah melakukan propaganda terhadap umat islam (utamanya Bani Hasyim).
 Propaganda Muhammad ibn Ali mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat karena beberapa faktor yaitu meningkatnya kekecewaan kelompok mawali terhadap Dinasti Bani Umayyah karena selama Dinasti ini berkuasa mereka ditempatkan pada posisi kelas dua dalam sistem sosial sementara orang-orang Arab menduduki kelas bangsawan,pecahnya persatuan antar suku bangsa Arab dengan lahirnya fanatisme kesukuan antara Arab utara dengan Arab selatan,timbulnya kekecewaan kelompok agama terhadap pemerintahan yang sekuler karena mereka menginginkan pemimpin negara yang memiliki pengetahuan dan integritas keagamaan yang mumpuni, perlawanan dari kelompok Syiah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh Bani Umayyah karena mereka tidak mudah melupakan peristiwa tersebut.
Sebelum menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah,para keluarga Abbas melakukan berbagai persiapan dengan melakukan pengaturan strategi yang kuat dan persiapan yang matang juga dukungan yang kuat dari masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan pemikiran matang dan strategi yang dapat memperhitungkan keadaan untuk melakukan gerakan propaganda tersebut.
Ali bin Abdullah bin Abbas kemudian digantikan anaknya Muhammad bin Ali.Pada masa Muhammad bin Ali ini,usaha mendirikan dinasti Abbasiyah semakin meningkat dengan memperluas gerakan antara lain kota al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi,Kufah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Setelah Muhammad bin Ali wafat,beliau digantikan oleh anaknya Ibrahim al-Imam.Guna mempertahankan wilayahnya beliau mengangkat panglima perang Abu Muslim al-Khurasan dan berhasil merebut Khurasan dan mencapai kemenangan.Setelah beliau wafat,perjuangannya diteruskan oleh adiknya yaitu Abu Abbas bin Muhammad bin Ali,beliau ingin merangkul kekuatan dari keluaga lain yaitu Bani Hasyim dan kaum Alawiyin yang tidak pernah mendapat perhatian dan dikucilkan oleh Dinasti Umyyah.
Dengan bergabungnya Bani Hasyim dan Kaum Alawyin maka gerakan Abu Abbas menjadi kekuatan yang ditakuti oleh Bani Umayyah,melihat posisinya semakin terpojok akhirnya Marwan bin Muhammad,peguasa terakhir Dinasti Bani Umayyah menyelamatkan diri dari kejaran massa menuju ke wilayah Mesir tepatnya di Fustad,disitulah dia mati terbunuh pada tahun 132 H/750 M. Terbunuhnya Khalifah terakhir Bani Umayyah ini menandai era baru dalam perjalanan sejarah pemerintahan islam,kemudian kekuasaan pindah ke tangan penguasa baru yaitu para penguasa yang berasal dari keturunan Hasyim atau keturunan Abbas kemudian Dinasti ini disebut dengan Dinasti Abbasiyah.
2)        Peta Wilayah Islam
Pada masa daulah Bani Abbasiyah ini wilayah islam sangat luas,meliputi wilayah yang dikuasai oleh Bani Umayyah antara lain Saudi Arabia, Yaman Utara, Yaman Selatan, Oman, Uni Emirat, Arab, Quait, Iraq, Iran, Yordania, Palestina (Israel), Libanon, Mesir, Libia, Tunisia, az-Zajair, Maroko, Spanyol, Afganistan, Pakistan.
Sikap politik daulah Abbasiyah berbeda dengan daulah Bani Umayyah sebab dalam daulah Bani Abbasiyah pemegang kekuasaan lebih merata,bukan hanya dipegang oleh bangsa Arab,tetapi lebih demokratis melihat bahwa kekuasaan itu harus dibagi-bagi dalam segala kekuatan masyarakatnya,maka bangsa Persia juga diberi kekuasaan begitu juga bangsa Turki dan lainnya.
3)      Pemerintahan Bani Abbasiyah
Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khalifah Umayyah dimana pendiri dari khalifah ini adalah keturunan al-Abbas,paman Nabi Muhammad SAW. Yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
a.       Periode pertama (132-232 H/750-847 M),disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
b.      Periode kedua (232-334 H/847-945 M),disebut periode pengaruh Turki pertama.
c.       Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M),Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
d.      Periode keempat (447-590 H/1055-1194 M),disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
e.       Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M),masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

E.       Khalifah – Khalifah Bani Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.Secara politis,para khalifah betul-betul kokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan, politik, dan agama.Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai keemasan dibawah pimpinan al-Mahdi,al-Hadi,Harun ar-Rasyid,al-Ma`mun,al-Mu`tashim,al-Wasiq dan al-Mutawakil.
Ø  Al-Mahdi (775-785 M)
Al-Mahdi dilahirkan di Hamimah pada tahun 126 H. Sewaktu ayahnya al-Mansur mulai menjadi khalifah, al-Mahdi berusia 10 tahun dan Isa bin Musa sebagai putra mahkota bakal pengganti al-Mansur menurut perjanjian yang dibuat oleh Abul Abbas as-Saffah,tetapi al-Mansur berniat untuk mencalonkan anaknya menjadi penggantinya kelak.Karena itu beliau mengambil langkah-langkah untuk mengasuh dan mengajarnya tentang kepahlawanan dan cara-cara memimpin tentara.
Ketika al-Mahdi menjadi khalifah,negara telah dalam keadaan stabil dan mantap,dapat mengendalikan musuh-musuh dan keuangannya pun telah terjamin.Karena itu zaman pemerintahan al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan hidup dalam kedamaian.
Al-Mahdi telah memerintah supaya dibangun beberapa buah bangunan besar di sepanjang jalan yang menuju ke Makkah sebagai tempat persinggahan para musafir,memerintahkan supaya dibuat kolam-kolam air untuk kepentingan kelompok-kelompok kafilah dan hewan-hewan mereka dan mengadakan hubungan pos di antara kota Bagdad dan wilayah-wilayah islam yang terkemuka.
Ø  Al-Hadi (775-786 M)
Al-Hadi adalah khalifah pengganti al-Mahdi yang merupakan anaknya sendiri,pada tahun 166 H al-Mahdi melantik pula anaknya yang seorang lagi yaitu Harun ar-Rasyid sebagai putra mahkota bakal pengganti al-Hadi.Kalau al-Mahdi wafat,al-Hadi dilantik menjadi khalifah yang menggantikannya secara resmi.
Khalifah al-Hadi ialah khalifah yang tegas,walaupun beliau gemar berhibur dan bersenda gurau,tetapi semua itu tidak melalaikannya dari memikul tanggung jawab.
Seperti yang telah diketahui khalifah al-Hadi adalah seorang yang berhati lembut, berjiwa bersih, berakhlak baik, baik tutur katanya, senantiasa berwajah manis dan jarang menyakiti orang.
Ø  Harun ar-Rasyid (785-809 M)
Harun ar-Rasyid dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H,ibundanya adalah Khaizuran,bekas seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi.Beliau telah dibesarkan dengan baik sewaktu beliau diasuh agar berpribadi kuat dan berjiwa toleransi.Ayahanda beliau al-Mahdi telah memikulkan beban yang berat,bertanggung jawab memerintah negeri dengan melantik beliau sebagai amir di Saifah pada tahun 163 H.Pada tahun 164 H beliau dilantik memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika Utara.Harun ar-Rasyid telah melantik pula beberapa orang pegawai tinggi ,mewakili beliau di kawasan-kawasan tersebut.
Pribadi dan akhlak Khalifah Harun ar-Rasyid adalah baik dan mulia yang menyebabkan beliau sangat dihormati dan disegani.Beliau adalah salah seorang khalifah yang suka bercengkrama,alim dan dimuliakan.Selain itu,beliau juga terkenal sebagai seorang pemimpin yang pemurah dan suka berderma.Beliau juga menyukai musik,ilmu pengetahuan dan dekat dengan para ulama serta penyair.
Pada zaman pemerintahan Harun ar-Rasyid,Baitul Mal ditugaskan menanggung narapidana dengan memberikan setiap orang makanan yang cukup serta pakaian musim panas dan musim dingin.Sebelum itu khalifah al-Mahdi juga berbuat demikian tetapi dengan nama pemberian,sementara Khalifah Harun ar-Rasyidmenjadikannya suatu tugas  dan tanggung jawab Baitul Mal.
Khalifah Harun ar-Rasyid mampu membawa negeri yang dipimpinnya ke masa kejayaan, kemakmuran dan kesejahteraan. Berikut usaha Harun ar-Rasyid selama masa pemerintahannya:
v  Mengembagkan bidang ilmu pengetahuan dan seni.
v  Membangun gedung-gedung dan sarana sosial.
v  Memajukan bidang ekonomi dan industri.
v  Memajukan bidang politik pertahanan dan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Ø  Al-Ma`mun (813-833 M)
Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abdul Abbas al-Ma`mun, adalah anak dari Khalifah Harun ar-Rasyid yang dilahirkan pada tanggal 15 Rabiulawal tahun 170 H/786 M.Kelahirannya bertepatan dengan wafat kakeknya yaitu Musa al-Hadi,juga bersamaan dengan waktu ayahnya diangkat menjadi khalifah.Adapun ibunda al-Ma`mun adalah seorang bekas hamba sahaya yang bernama Marajil.
Selain sebagai seorang pejuang yang pemberani beliau juga sebagai seorang pengusaha yang bijaksana.Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, cerdas merupakan sifat-sifat yang menonjol dalam pribadi al-Ma`mun.
Khalifah Abdullah al-Ma`mun selama menjabat sebagai pemimpin Daulah Abbasiyah telah berusaha melakukan perbaikan-perbaikan hal-hal sebagai berikut :
v  Menghentikan berbagai gerakan pemberontakan untuk menciptakan stabilitas dalam negeri.
v  Penertiban administrasi negara untuk penataan kembali sistem pemerintahan.
v  Pembentukan badan negara.
v  Pembentukan Baitul Hikmah dan Majlis Munazarah.
Lembaga Baitul Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan (daur al-kutub), yang tampaknya juga aktif disana para guru, para ilmuan, disamping aktivitas Penerjemahan, penulisannya dan penjilidannya.

Ø  Al-Mu`tashim (833-842 M)
Abu Ishak Muhammad Al-Mu`tashim lahir pada tahun 187 H.Ibunya bernama Maridah.Beliau dibesarkan dalam suasana ketentaraan,karena sifat berani dan minatnya untuk menjadi pahlawan. Di masa pemerintahan al-Ma`mun, al-Mu`tashim merupakan tangan kanannya dalam menyelesaikan kesulitan dan memimpin peperangan. Al-Ma`mun juga melantik al-Mu`tashim sebagai pemerintah di negeri Syam dan Mesir,kemudian melantiknya pula sebagai putra mahkota. Al-Mu`tashim menyandang jabatan khalifah sesudah wafatnya, al-Ma`mun.
Khalifah pindah bersama korp-korps kayangannya ke Samara.Di sana beliau mendirikan istana,masjid dan sekolah-sekolah.Tidak lama kemudian Samara mulai megah seperti Baghdad, tetapi beliau tidak pernah menggantikan Baghdad sebagai pusat intelektual yang besar.Hal ini juga didukung oleh kondisi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini berkembang dengan pesat,bukan hanya ilmu pengetahuan umum tetapi ilmu pengetahuan agama.

Ø  Al-Watsiq (842-847 M)
Al-Watsiq dilahirkan pada tahun 196 H,ibunya keturunan Roma bernama Qaratis.Al-Watsiq berperibadi luhur,berpikiran cerdas dan berpandangan jauh dalam mengurus segala perkara.Bapaknya telah memberinya kekuasaan di Baghdad,ketika al-Mu`tashim berpindah ke Samara bersama-sama dengan angkatan tentaranya kemudian melantiknya sebagai putra mahkota bakal khalifah.Al-Watsiq telah menyandang jabatan khalifah setelah wafatnya al-Mu`tashim,ayahnya.
Al-Watsiq adalah penguasa yang sangat cakap, pemerintahannya mantap dan penuh perhatian, beliau banyak memberikan uang dan menolong ilmu pengetahuan sepenuhnya, industri maju dan perdaganagn lancar.
Ø   Al-Mutawakkil (847-861 M)
Ja`far al-Mutawakil adalah putra al-Mu`tasim Billah (833-842) dari seorang wanita persia.Beliau menggantikan saudaranya al-Watsiq. Selama masa pemerintahannya al-Mutawakil menunjukkan rasa toleran terhadap sesama. Al-Mutawakkil mengandalkan negarawan Turki dan pasukannya untuk meredam pemberontakan dan memimpin pasukan menghadapi pasukan asing. Al-Mutawakkil wafat pada tanggal 11 Desember 861 M.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya Daulah ‘Abbasiyah ini terutama periode-periode awal adalah puncak keemasan peradaban Islam (The Golden Age of Islamic Civilization), dari sanalah lahir beberapa tokoh yang mampu melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi lebih maju. Ada beberapa factor yang menyebabkan majunya ilmu pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasiyah diantaranya adalah adanya persamaan dalam hal superioritas antara bangsa Arab dan Bangsa non-Arab sehingga banyak menyumbangkan pemikir-pemikir yang handal tanpa memandang kesukuan dan bangsa. Factor kedua adalah dukungan dari penguasa saat itu diantaranya khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun yang keduanya sangat mendukung terhadap ilmu pengetahuan dengan bangunnya Bait al-Hikmah yang salah satu aktivitasnya adalah gerakan penerjemahan buku-buku berbahasa asing baik itu Yunani, Persia, India maupun bahasa lainnya.
Ada perbedaan yang mencolok dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasiyah ini yaitu dalam hal orang-orang yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan bidang sains lebih didominasi oleh orang-orang dari luar bangsa Arab, seperti Persia dan Turki yang memang mempunyai kelebihan dan minat terhadap ilmu-ilmu sains dibandingkan dengan orang-orang bangsa Arab yang lebih berminat mengembangkan ilmu pengetahuan yang berlandaskan keagamaan seperti halnya dalam bidang teologis, hadis,  fikih, dan tasawuf.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amīn, Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah, Vol. I, Cet. 7.
Ahmad Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, Damām, Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 3, 2004.
Ahmad Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985.
Bernard Lewis, ‘AbbÉsid, dalam E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997.
Eric Hanne, ‘Abbasids, dalam Josef W. Meri (Ed.), Medieval Islamic Civilization: An Encyclopaedia, New York & London, Routledge, 2006.
George Modelski, World Cities: –3000 to 2000, Washington DC: FAROS 2000, 2003
Hāji Khalīfah, Kashf al-Dzunūn, bab. `Ilm Al-Hikmah, vol. I, hlm 676 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1984
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo, Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. II, Cet. 14, 1996
http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir pada tanggal 13 Oktober 2011
Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 476; Alfred Guillaume, The Traditions of Islam (Oxford, 1924).
Ibn al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 304 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Jalāluddīn Al-Suyūti, Tārikh al-Khulafā, Tahqīq: Ahmad Ibrāhīm Zahwah & Sa`īd Ibn Ahmad al-`Aidrūsi, Beirut, Dār al-Kitāb  al-`Arabi, 2006.
Muhamad al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-’Ilmi`Inda al-Muslimīn, Kairo, Maktabah al-Khānji, 1976-1977.
Muhamad Ibn Sa’d ibn Manī`,Al-Tabaqāt al-Kubrā, Tahqiq: Ihsān Abbās, Beirut, Dār Sādir, Cet. 1, 1986
M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu, diterjemahkan dan dikomentari serta diberi beberapa tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi dari buku aslinya berjudul Islamic Thought: It’s Origin and Achievements, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Cet. 8, 1986.
Philip K. Hitti, History of Arabs 3rd Edition, London: Macmillan and Co., Limited St. Martin’s Street, 1946.
Siddīq Ibn Hasan al-Qannūji, Abjad al-`Ulūm al-Washi al-Marqūm fī Bayān Ahwāl al-`Ulūm, Vol. I, hlm.179 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32.
Sulaymān al-Khatīb, Usus Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām, Kairo, Al-Zahrā’ li al-I`lām al-`Arabi, Cet.I, 1986
Vartan Gregorian, Islam : A Mosaic, Not a Monolith, Brookings Institution Press, 2004

Asnawi,Muh,Sejarah Kebudayaan Islam,Semarang:CV.Aneka Ilmu,2009
Ismiyatun,Sejarah Kebudayaan Islam,Madrasah Tsanawiyah
Karim,Abdul,M,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,Yogyakarta:Pustaka Book Publisher,2007
Sanusi, Ja`far, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Aliyah III, Semarang: CV.Wicaksana
Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, Jakarta: PT.Al Husna Zikra, 2000, cet ke-3
Syukur,Fatah,Sejarah Peradaban Islam,Semarang:PT.Pustaka Rizki,2009
Yatim,Badri,Sejarah Kebudayaan Islam II,Semarang:-,1996
http://erna-wati.blogspot.com/faktor-faktor-pendukung-dan-lahirnya.html,(14/11/2010)



0 comments:

Post a Comment