MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
Perkembangan ilmu pengetahuan era keemasan Islam
dan tokoh-tokoh peradaban Islam (masa Umayyah dan Abbasiyah)
Di susun oleh:
AHMAD NAFIS SYAHRONI (13650131)
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
FAKULTAS SAINTEK
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengalami masa keemasannya
pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Masa keemasan Islam yang juga dinilai
sebagai fase perkembangan terpenting bagi pendidikan Islam dan perkembangan
ilmu umum ini terjadi pada kurun waktu abad ketiga sampai kelima hijriah.
Periode ini menjadi sangat terkenal dengan munculnya gerakan intelektual dalam
sejarah Islam, sehingga dikenal sebagai kebangkitan dalam sejarah pemikiran,
peradaban, budaya dan ilmu pengetahuan. Perkembangan keilmuan dapat dilihat
dari keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan serta banyaknya
karya-karya besar dari tokoh-tokoh tersebut. Bidang keilmuan yang berkembang
sangat pesat antara lain bidang fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi. Bahkan
bidang-bidang keilmuan umum seperti halnya ilmu kedokteran (kimia murni maupun
terapan) sebagai dasar ilmu farmasi, filsafat, matematika, astronomi, optika,
dan sastra. Selain dalam segi pendidikan, kekuasaan Abbasiyah atas umat Islam
juga mengantarkan pada zaman pemerintahan yang kuat terpusat, kesejahteraan
ekonomi yang tinggi dan peradaban yang luar biasa.
Dunia Islam pada waktu itu dalam
keadaan maju, jaya, makmur sebaliknya dunia Barat masih berada dalam keadaan
kegelapan, bodoh dan primitif. Ketika itu dunia Islam sudah sibuk mengadakan
penyelidikan di laboratorium dan observatorium, sedangkan dunia Barat masih
asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa serta kekangan golongan Gereja yang
membuat para ilmuwan tidak dapat mengembangkan keilmuannya. Perkembangan
intelektual Islam ini disebabkan agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. telah
mendorong untuk menumbuhkan budaya baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu
mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu pengetahuan dalam lapangan agama (ilmu
aqli), sehingga bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian
ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukan perbendaharaan
Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari perbendaharaan Yunani
menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan bidang akal
(ilmu aqli). Perkembangan ilmu pengetahuan baik berupa ilmu agama maupun ilmu
umum yang ada pada masa keemasan Islam ini tidak terlepas dari lahir dan
berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa itu. Mulai
dari lembaga pendidikan yang sifatnya sederhana dan dapat dikatakan sebagai
pendidikan tingkat rendah hingga lembaga pendidikan yang telah modern.
B.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Di masa pemerintahan Bani Abbas ini
muncul perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani bahkan mencapai
puncak keemasannya, teutama pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun.
Di zaman Harun al-Rasyid (785-809 M) banyak sekali kontribusi besar yang telah
disumbangkan oleh khalifah dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Hal itu
tidak jauh berbeda dengan putranya Al-Ma’mun yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan.
Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa dinasti Bani Abbas,
diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Adanya gerakan
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang didatangkan dari
Bizantium dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan
buku-buku itu berjalan kira-kira satu abad.
Kedua, banyaknya ilmuwan yang hidup pada masa Dinasti Bani Abbas
yang memberikan corak dan sumbangan terhadap dunia ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa itu.
Ketiga, adanya persamaan dalam hal superioritas antara bangsa Arab
dan Bangsa non-Arab sehingga banyak menyumbangkan pemikir-pemikir yang handal
tanpa memandang kesukuan dan bangsa.
Keempat, adanya dukungan khalifah-khalifah yang sangat mencintai
terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yaitu khalifah Harun al-Rasyid dan
Al-Ma’mun. Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya para pembesar istana Bani
Abbas adalah para cendekiawan-cendekiawan Persia yang turut mempengaruhi
kehidupan istana. Salah satu yang terbesar dan banyak berpengaruh pada
mulanya adalah keluarga Barmak. Jabatan wazir yang diberikan oleh Al-Mansur
kepada Khalid Ibn Barmak yang kemudian secara turun-temurun diwariskan kepada
anak dan cucu-cucunya.
Keluarga Barmak adalah sebuah
keluarga yang berasal dari Balkh (Bactra), pusat ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani di Persia, yang mempunyai pengaruh dalam memperkembangkan ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani di Baghdad. Mereka, di samping menjadi wazir, juga menjadi
pendidik dari anak-anak khalifah. Disamping itu, khalifah-khalifah terutama
Harun Al-Rasyid mengambil wanita-wanita Persia sebagai Istri dan dari
perkawinan ini muncullah khalifah-khalifah yang mempunyai darah Persia, seperti
khalifah Al-Ma’mun.
Oleh karena itu, Khalifah Al-Ma’mun
adalah salah satu putera Khalifah yang mendapat pendidikan keluarga Barmak yang
merupakan cendikiawan Persia. Berkat didikan keluarga Barmak inilah Al-Ma’mun
menjelma menjadi sosok khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan
filsafat. Menurut sebuah riwayat dikisahkan bahwa Al-Ma’mun sudah menguasai
filsafat Yunani Kuno karya Plato dan Aristoteles, sehingga tidak disangsikan
lagi bahwa pada kemudian hari Al-Ma’mun sangat gemar sekali terhadap dunia ilmu
pengetahuan dan filsafat. Salah satu kontribusi besar Al-Ma’mun dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah dengan dibangunnya pusat penerjemahan buku-buku
filsafat Yunani kuno, India kuno kedalam bahasa Arab yang dikenal dengan Bait
al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan).
B.
Perkembangan Ilmu Umum pada Masa Keemasan Islam
Telah kita maklumi bahwa Islam pada masa kejayaan (keemasan)-Nya, banyak
sekali menyumbangkan berbagai peradaban di pentas dunia. Hal ini terbukti
dengan banyaknya tokoh-tokoh islam yang diakui sebagai tokoh dunia diberbagai
bidang keilmuan. Tidak heran jika pada saat ini, teori-teori berbagai ilmu
pengetahuan berkiblat pada ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh ilmuwan
Muslim pada Masa Kejayaan Islam yang memang teori-teorinya diterima dan diakui
dunia.
Pada dasarnya, sebelum Islam menemukan puncak kejayaannya, di Eropa
pernah mendapati sebuah kemajuan yang signifikan yaitu pada saat ia dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran Yunani, sehingga ilmuwan Muslim harus memadukan antara
peradaban Yunani dengan Peradaban Arab, baik dari segi pemikiran maupun
kebudayaan bahkan ilmu pengetahuan seperti misalnya tokoh Ibnu Sina yang
dikenal dengan nama Avesena oleh kalangan barat, Ibnu Rusyd yang dikenal dengan nama Averoues dan lainnya.
Peda masa
kejayaan Islam itu banyak sekali cabang-cabang ilmu pengetahuan yang muncul dan
berkembang dengan pesat sebagaimana kita ketahui dalam sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa itu antara lain: ilmu kedokteran (kimia murni maupun
terapan) sebagai dasar ilmu farmasi,
filsafat, matematika, astronomi, optika, sastra. dan lain sebagainya.
1.
Kemajuan
dalam Bidang Sains dan Teknologi
a)
Kajian
dalam Bidang Kedokteran
Ilmu
Kedokteran “Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,
''Dr
Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to
Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan
puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan
tahun silam. Kontribusi peradaban Islam dalam dunia kedokteran sungguh sangat
tak ternilai. Di era keemasannya, peradaban Islam telah melahirkan sederet
pemikir dan dokter terkemukan yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran
modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai peradaban pertama yang mempunyai
Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional. Dunia kedokteran Islam
di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya yang menjadi literatur keilmuan
Dunia. Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah dinasti
Umayyah, yang memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi Helenistik.
Pada
abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti Umayyah diceritakan memerintahkan
penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani ke bahasa Arab.
Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul
Aziz memerintahkan penterjemhan dari bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah buku
pegangan medis abad ketujuh yang ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.
Pengalih bahasaan literatur
medis meningkat drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti
Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur
dipekerjakan dalam kegiatan ini. Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut
ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh
seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w. 857), Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain
Ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal.
Perkembangan
tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan John
dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran
India. walaupun keilmuan kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian,
tidak menafikan adanya sumber dan praktek berharga yang dapat dipelajari.
Warisan ilmiah Yunani menjadi dominan, khususnya helenistik, John Esposito
mengatakan “satu kesadaran atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong
untuk pendekatan kritis dan selektif “. Seperti dalam sains Arab awal.
Pada
abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat.
Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya
berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga
menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila penelitian dan
pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era
kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan
berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi
pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish. Era kejayaan Islam
telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi,
Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi
(841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Ia pernah menjadi dokter istana
Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan
menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku
kedokteran yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) dan
“Al-Hawi”.
Tokoh
kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M).
Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa.
Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al-
Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi rangkuman ilmu kedokteran.
Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik
kedokteran. Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa
mereka masih terasa hingga abad 19 M. Psikoterapi, serangkaian metode
berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan
kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang menerapkan psikoterapi
adalah Al-Razi serta Ibnu Sina, ini diperkenalkan lagi oleh Abdel-Latief pada
abad ke-12 M . yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat digunakan untuk
membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.
Metode-metode
ini banyak disadur dan dikembangkan dalam dunia modern. Hingga istilah dan
penyebutannya pun berbeda. Misalnya, kometerepi, di dunia modern bisa digunakan
kombinasi sitostika dan disebut regimen kometerapi. Padahal sebelumnya
penggunaan kometerapi digunakan satu jenis saja. Kometerapi pertama modern
adalah asrsphenamine karya Paul Ehrlich, sebuah Arsenic komplel ditemukan pada
tahun1909 dan digunakan untuk merawat sipilis . Dan tentunya masih banyak lagi
metode terapi atau cara pengobatan lain dari khaazanah ilmu kedokteran Islam.
Abad
ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda aktivitas kedokteran, ketika para
dokter dari seluruh dunia Muslim mengejar karir institusi medis di Damaskus dan
Kairo. Karena sudah banyak Rumah Sakit yang didirikan dan memerlukan lebih
banyak dokter dalam pengoprasiaanya. Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran
adalah Institusi pendidikan seperti madrasah (sekolahan).
Di
Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din al-Dakhwar membuat sebuah sekolahan
dalam rangka pengajaran kedokteran eksklusif. Sekolah tersebut disambut gembira
oleh pemimpin otoritas keagamaan kota tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah
kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah
Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis
Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang
diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Rumah sakit merupakan
salah satu prestasi institusional terbesar masyarakat Islam abad ke-9 dan ke-10
lima RS dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling terkenal adalah RS Adudi yang
dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 98.
Ketika
institusi terkenal seperti RS Nuri di Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri
di Kairo (abad ke-13) dibangun bersamaan dengan RS lain di Qayrawan, Mekkah,
Madinah, dan Rayy. Dalam RS lebih maju terdapat berbagai fasilitas seperti apa
yang telah dijelaskan. Termasuk apotek (toko obat) khusus untuk melayani
pembelian obat masyarakat umum. Berbicara mengenai apotek, Islam juga mewarisi
apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman dulu. Sharif Kaf
al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble contributions of Al-Razi in
the History of pharmacy during the middle Ages, mengungkapkan, apotek pertama
di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu Baghdad sudah
menjadi Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Dunia keilmuan, khususnya kedokteran
modern, harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain
seperti yang kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu
kedokteran. Dia adalah Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan
nama Al-Razi.
Menempati
bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi. Ia lahir di
Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (dikota yang sama pada tahun 925
M). Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai
seorang pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan
sarjana barat. Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar dalam buku Al-Razi,
The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan rohani). Walaupun sudah menginjak
usia tua, ketekunannya dalam bidang kedokeran menghasilkan karya-karya sangat
monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di Baghdad. Dengan karya-karya
yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-Razi
diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar
dunia Islam dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam,
dan satu yang terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara
sejarawan barat terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari
Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang
salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans, maju dibidang teori, dia
memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.
Keseimbangan
humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan
dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan
dan pengobatan itu dilakukan, agar dapat membangun atau memelihara kembali
keseimbangan kondisi tubuh yang kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat
dalam keadaan baik sebagaimana fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi
atau cuaca lingkungan yang kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan,
obat-obat tertentu dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat
cuci perut). Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan
tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan observasi medis untuk
menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan penawarnya (obat). Maka
dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada observasi klinis, dan
pertimbangan teoritis memainkan peran utama dalam strukturisasi dan organisasi
pengetahuan medis. Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya
bergerak dalam ranah teori atau wacana, tapi juga harus didukung pengamatan
empiris (klinis).
Hal
itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon
kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun ditulis dengan maksud membuat karya
kanonis definitif mengenai kedokteran, yang sangat komprehensif sekaligus
teoritis. Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya
tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi, patologi dan
akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini
terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.
b)
Ilmu
Filsafat
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
bahkan boleh dikatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu
pengetahuan. Banyak para tokoh muslim yang menekuni ilmu filsafat baik filsafat
islam maupun filsafat umum antara lain:
Ibnu Bajjah, al-Kindi, Al-razi, Al-Farabi, Ibnu sina, Ibnu Rusyd dan lainnya.
Ø Ibnu Bajjah.
Khalifah
yang berperan dalam memajukan filsafat pada masa kejayaan Islam adalah
Al-Hakam, Ia mempunyai inisiatif untuk mengimpor karya-karya ilmiah dan
filosofis dari timur dalam jumlah besar sehingga di cordova dengan perpustakaan
dan universitas-universitasnya mampu manyaingi baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan, sehingga muncul tokoh utama filsafat yaitu Abu Bakar Muhammad Ibn
Al-Sayikh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah.
Ø Al-Kindi
Selain Ibnu
Bajjah, Al-Kindi adalah seorang Filusuf Islam yang belajar di Basrah, Ia mahir
berbagai macam ilmu pengetahuan antara lain Filsafat, ilmu hitung, mantiq,
kedokteran geometri dan astronomi, Ibnu Rusyd, adalah seorang filosof yang yang
mengikuti jejak Aristoteles dengan ciri khasnya adalah kecermatan dalam
menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian
dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan Agama.
Ø
Al-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibnu zakaria Ibnu
Yahya Al-Razi Seorang Filosof yang lahir pada masa kejayaan Islam Tahun 192
H/808 M. Al-Razi adalah seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai
kekuatan akal, bahkan dalam bidang kedokteran studi klinis yang dilakukannya
telah menemukan nmetode yang kuat yang berpijak pada observasi dan experimen.
Dengan demikian, Al-Razi adalah salah seorang filosof yang hanya mengandalkan
akal tanpa menghiraukan kekuasaan Tuhan.
Ø Al-Farabi
Nama Lengkapnya adalah Abu Nashar
bin Muhammad bin Mohammad bin Tharkhan bin Unzalagh. Dalam bidang filsafat, etika, dan kemasyarakatan,
Al-Farabi tidak kurang dari delapan belas tulisannya, tiga diantaranya adalah:
Ar-Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (pandangan-pandangan para penghuni Negara Yang
Utam), Tahsil Al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan) dan Al-Siyasah
Al-Madaniyah (Politik Kenegaraan).
c)
Perkembangan
Kajian Ilmu Astronomi dan Matematika
Perkembangan ilmu astronomi dan matematika mulai berkembang
pada masa pemerintahan al-Ma’mun. Kajian tentang perbintangan dalam islam mulai
dilakukan seiring dengan masuknya pengaruh buku India, Siddanta (bahasa
Arab, Sindhind) yang dibawa ke Baghdad pada tahun 771 M, diterjemahkan
oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari, dan digunakan sebagai acuan oleh para
sarjana pada masa selanjutnya. Table berbahasa Pahlawi (zik) yang dihimpun pada
masa Daulah Sasaniyah ikut dimasukkan dalam bentuk terjemahan (zij). Unsure-unsur
Yunani, yang baru muncul belakangan, termasuk diantara unsure penting yang
pertama. Terjemahan awal karya Ptolemius, Almagest, disusul kemudian
oleh dua karya yang lebih unggul yakni karya al-Hajjaj ibn Mathar yang selesai
ditulis pada tahun 212 H/827-828 M, dan karya Hunayn ibn Ishaq yang direvisi
oleh Tsabit ibn Qurrah (w. 901 M).
Pada awal abad ke-9 M, sebuah observasi (rasyd) rutin
pertama dengan menggunakan peralatan yang cukup akurat dilakukan di Jundaysabur
(Persia sebelah barat daya). Berdekatan dengan Bayt al-Hikmah, di pintu
masuk Syammasiyah Baghdad, al-Ma’mun membangun sebuah observatorium dengan
supervisor seorang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind ibn ‘Ali dan Yahya ibn
abi Manshur (w. 830 atau 831 M).
Di
observatorium itu para astronom kerajaan tidak hanya mengamati dengan seksama
dan sistematis berbagai gerakan benda-benda langit, tetapi juga menguji semua
unsure penting dalam almagest dan menghasilkan amatan yang sangat akurat
dalam mengukur sudut ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari, panjang tahun
matahari, dan sebagainya.
Al-Ma’mun
membangun lagi sebuah observatorium di bukit Kasiyun di luar Damaskus.
Perangkat observasi pada masa itu terdiri atas busur 90°, astrolob, jarum
penunjuk, dan bola dunia. Ibrahim al-Fazari (w. 777 M) adalah orang islam
pertama yang membuat astrolob, yang meniru bentuk astrolob Yunani, seperti yang
terlihat dari namanya dalam bahasa Arab (asthurlab). Salah satu risalah
tentang perangkat ini ditulis oleh ‘Ali ibn ‘Isa al-Asthurlabi (pembuat
asthurlab) yang tinggal di Baghdad dan Damaskus sebelum 830 M.
Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu
adalah Abu al-‘Abbas ahmad al-Farghani (alfraganus) dari daerah Fargana
Transoxiana, yang diserahi tugas oleh khalifah al-Mutawakkil untuk mengawasi
pembangunan sebuah Nilometer di Fushtat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil
ila ‘Ilm Hayah al-Aflak, diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh John dari
Seville dan Gerrad dari Cremona, ke bahasa Ibrani pada tahun 1131 M dalam versi
bahasa Arab, buku itu ditemukan dengan judul yang berbeda. Antara tahun 877 dan
918 M, Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir al-Battani (albategnius) seorang ahli
astronomi bangsa Saba yang terbesar pada masa Islam. Ia membuktikan kemungkinan
terjadinya gerhana matahari cincin, menentukan sudut ekliptik bumi dengan
tingkat keakuratan yang lebih besar, dan mengemukakan berbagai teori orisinal
tentang kemungkinan munculnya bulan baru.
Dalam ilmu pengetahuan alam, seorang ilmuwan muslim yang
terkenal adalah Abu al-Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1050 M) yang
tinggal di Baghdad. Al-Biruni dipandang sebagai sarjana Islam paling orisinal
dan terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Al-Biruni menulis sebuah
catatan tentang ilmu astronomi berjudul al-Qanun al-Mas’udi fi al-Hay’ah wa
al-Nujum yang dipersembahkan untuk sahabatnya Mas’ud putera Mahmud. Ia juga
menulis buku yang berjudul al-Tafhim li Awa’il Shina’ah al-Tanjim, yang
terutama membahas berbagai perhitungan tahun, dan masa hidup bangsa-bangsa pada
masa silam. Selain itu ada juga seorang ahli matematika dan astronomi yang
terkenal dengan usahanya dalam membuat sebuah kalender yang diberi nama dengan
nama sultan, al-Tarikh al-Jalali yang bahkan lebih akurat daripada
kalender gregorius, yang keliru satu hari dalam 3330 tahun.
Adapun dalam bidang astrologi yang merupakan ilmu pendukung
astronomi telah dikenal salah seorang astrolog pada masa itu yakni Abu Ma’syar
(w. 886 M), yang berasal dari Khurasan dan tinggal di Baghdad. Empat karyanya
telah diterjemahkan kedalam bahasa latin pada abad ke-12 oleh John dari Seville
dan Adelard dari Bath. Selain keyakinan fantatisnya akan pengaruh benda langit
terhadap kelahiran, kejadian dalam hidup, dan kematian segala sesuatu, Abu
Ma’syar juga memperkenalkan ke Eropa hukum pasang surut air laut, yang ia
jelaskan dalam kaitannya dengan timbul dan tenggelamnya bulan.
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780 sampai ± 850 M), adalah
tokoh utama dalam kajian matematika Arab. Sebagai seorang pemikir Islam
terbesar, ia telah mempengaruhi pikiran dalam bidang matematika. Disamping
telah menyusun table astronomi tertua, al-Khawarizmi juga menulis karya tentang
aritmatika dan aljabar. Karyanya yang berjudul, Hisab al-Jabr wa
al-Muqabalah, yang dilengkapi lebih dari 800 contoh yang sebagian
diantaranya diambil dari contoh yang diberikan oleh orang Neo-Babilonia,
merupakan karya utamanya, yang masih ditemukan dalam bahasa aslinya. Orang yang
terpengaruh oleh pemikiran aljabar matematika al-Khawarizmi salah satunya
adalah ‘Umar al-Khayyam. Aljabar al-Khayyam yang merupakan pengembangan dari
teori aljabar al-Kahwarizmi, membahas solusi pecahan tingkat dua dengan
menggunakan geometrid an aljabar (geometric and algebraic solutions of
equations of the second degree) dan pengelompokkan pecahan yang
menakjubkan.
d)
Perkembangan
dalam Bidang Kimia
Setelah ilmu kedokteran, astronomi dan matematika,
orang-orang muslim pada masa Daulah ‘Abbasiyah telah memberikan kontribusi
ilmiah terbesar dalam bidang kimia. Dalam ilmu kimia dan ilmu pengetahuan
fisika lainnya orang Arab telah memperkenalkan tradisi penelitian objektif,
sebuah perbaikan penting terhadap pemikiran spekulatif orang Yunani. Bapak kimia bangsa Arab adalah Jabir
ibn Hayyan (Geber), hidup di Kuffah sekitar 776 M setelah al-Razi (w. 925 M),
ia merupaka tokoh terbesar dalam bidang ilmu kimia pada abad pertengahan.
Seperti orang Mesir dan Yunani Jabir percaya bahwa logam biasa seperti seng,
besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas, atau perak dengan formula tertentu
dan sangat rahasia (misterius). Buku-buku yang ditulis oleh Jabir ibn Hayyan
diantaranya adalah Kitab al-Rahmah (Buku Cinta), Kitab al-Tajmi’ (Buku tentang
Konsentrasi), al-Zibaq al-Syarqi (Air Raksa Timur). Salah satu keberhasilan
Jabir ibn Hayyan adalah berhasil menggambarkan secara ilmiah dua operasi utama
kimia yaitu kalnikasi dan reduksi kimiawi. Ia memperbaiki berbagai metode
penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi.
e)
Perkembangan
dalam Kajian Ilmu Geografi
Kewajiban melaksanakan ibadah haji, keharusan menghadapkan
mihrab masjid ke arah Mekah, dan penentuan arah kiblat ketika shalat telah
memberikan nilai keagamaan kepada orang Islam dalam mempelajari geografi.
Berdasarkan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para saudagar dan pedagang
muslim pada waktu itu dan menggambarkan tentang keadaan suatu wilayah yang
disinggahinya telah membangkitkan minat masyarakat untuk pergi ke berbagai
negeri yang jauh dan bertemu dengan orang-orang asing.
Perkembangan geografi sehingga menjadi salah satu disiplin
ilmu banyak dipengaruhi oleh khazanah Yunani dalam bidang ini. Buku Geography
karya ptolemius, yang menyebutkan berbagai tempat berikut garis bujur dan
lintang buminya, diterjemahkan beberapa kali ke dalam bahasa Arab langsung dari
bahasa aslinya atau dari terjemahannya dalam bahasa suriah, terutama oleh
Tsabit ibn Qurrah (w. 901 M). Dengan meniru buku itu, Khawarizmi menyusun
karyanya, Surah al-Ardh (gambar/peta bumi), yang menjadi acuan
karya-karya berikutnya, dan berhasil membangkitkan semangat dalam pengembangan
ilmu geografi dan penulisan risalah geografis yang orisinal.
Risalah-risalah geografis bahasa Arab pertama yang
independen biasanya berbentuk buku petunjuk jalan, terutama yang menunjukkan
tempat-tempat penting. Ibn Khurdadzbih (w. ± 912), seorang keturunan Persia,
direktur pos dan intelijen di al-Jibal (media), mengawali serangkaian risalah
geografis itu dengan karyanya, al-Masalik wa al-Mamalik. Selain Ibn
Khurdadzbih ada juga penulis risalah geografis belakangan yaitu Ibn Wadhih
al-Ya’qubi yang menulis Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri), setelah
itu muncul pula tulisan Qudamah yang menulis buku al-Kharaj yang
menjelaskan tentang pembagian wilayah kekhalifahan ke dalam berbagai propinsi,
organisasi layanan pos, dan pajak setiap wilayah.
f)
Perkembangan
dalam Kajian Ilmu Historiografi
Kebanyakan tulisan sejarah berbahasa Arab paling awal
berasal dari masa Daulah ‘Abbasiyah. Tema utama yang menjadi tulisan sejarah
berasal dari legenda dan anekdot yang terkait dengan masa-masa pra Islam, dan
tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Tentang masa
pra-Islam tercatat nama Hisyam al-Kalbi (w. 819 M) dari Kufah. Dari 129
karyanya, hanya tiga karyanya yang masih ada; namun berbagai bagian tulisan
dari karya-karya lainnya dapat dibaca dalam bentuk kutipan dalam karya-karya
al-Thabari, Yaqut, dan para penulis sejarah lainnya.
Karya pertama yang didasarkan atas tradisi keagamaan adalah Sirah
Rasul Allah, sebuah biografi Nabi karya Muhammad ibn Ishaq dari Madinah.
Kemudian muncul karya tentang peperangan dan penaklukan Islam paling awal, Maghazi,
karya Musa ibn ‘Uqbah (w. 758 M), al-Waqidi (w. 822), yang keduanya berasal
dari Madinah. Dua sejarawan utama yang menulis tentang penaklukan-penaklukan
Islam adalah Ibn ‘Abd al-Hakam (w. 870-871 M) dari Mesir, yang karyanya, Futuh
Mishr wa Akhbaruha, menjadi dokumen tertua tentang penaklukan Mesir, Afrika
Utara, dan Spanyol, serta Ahmad ibn Yahya al-Baladhuri (w. 892 M) dari Persia
yang menulis dalam bahasa Arab. Karya Utamanya berjudul Futuh al-Buldan
dan Anshab al-Ashraf, (Buku Genealogi para Bangsawan. Al-Baladhuri
merupakan orang pertama yang merangkum berbagai cerita penaklukan berbagai kota
dan negeri ke dalam satu satu kompedium, dan mengakhiri penggunaan menograf
sebagai sumber penulisan sejarah.
Diantara sejarawan formal pertama adalah Ibn Qutaybah, yang
nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslim al-Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal
di Baghdad pada tahun 889 M setelah menuntaskan penulisan bukunya yang berjudul
Kitab al-Ma’arif (Buku Pengetahuan) sebuah buku pegangan sejarah.
Sejarawan muslim paling menonjol pada masa itu adalah al-Thabari dan
al-Mas’udi.
Ketenaran Abu Ja’far Muhammad ibn al-Thabari (838-923 M),
yang lahir di Tabaristan, adalah karena buku sejarahnya yang sangat terperinci
dan akurat yaitu Tarikh al-Rasul wa al-Muluk (Sejarah Rasul dan Para
Raja), dan juga dikenal karena tafsir Alqur’annya. Dengan tafsirnya, yang
awalnya disusun dalam skala pembahasan yang lebih luas, ia bukan saja telah
membangun tradisi tafsir paling awal, tapi juga menulis kitab tafsir paling tebal.
Tafsirnya menjadi karya standar yang diikuti oleh para penafsir Alqur’an
belakangan. Karyanya yang monumental tentang sejarah dunia, yang juga merupakan
buku sejarah terlengkap dalam bahasa Arab, telah menjadi sumber rujukan para
sejarawan berikutnya, seperti Miskawayh, Ibn al-Atsir, dan Abu al-Fida. Seperti
kebanyakan sejarawan muslim, al-Thabari mengisahkan berbagai peristiwa secara
kronologis, dan memasukkannya kedalam daftar berdasarkan tahun Hijriah.
Abu al-Hasan ‘Ali al-Mas’udi adalah salah satu sejarawan
muslim yang lainnya yang terkenal, bahkan ia dijuluki sebagai “Herodotus bangsa
Arab”. Ia memprakarsai metode tematis dalam penulisan sejarah. Metode yang
dilakukan oleh al-Mas’udi bukan berdasarkan kepada tahun kejadian seperti
halnya yang dilakukan al-Thabari, akan tetapi mengelompokkan peristiwa
berdasarkan Daulah, raja, dan masyarakatnya, yang kemudian diikuti oleh Ibn
Khaldun dan sejarawan lainnya.
2.
Kemajuan
dalam Bidang Keagamaan
a.
Perkembangan
dalam Kajian Teologi dan Hadis
Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa paling awal
tertuju pada cabang keilmuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk
memahami dan menjelaskan Alqur’an, kemudian menjadi landasan kajian teologis
dan linguistik yang serius. Interaksi dengan dunia Kristen pada abad pertama
Hijriah di Damaskus telah memicu timbulnya pemikiran spekulatif teologis yang
melahirkan madzhab pemikiran Murji’ah dan Qodariah. Pada masa Dinasti Bani
Abbas perkembangan teologis yang dominan pada saat itu adalah Mu’tazilah karena
dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Teologi Mu’tazilah
banyak dianut oleh golongan elit istana kekhalifahan dan cendekiawan. Bahkan
khalifah Al-Ma’mun memjadikan teologi Mu’tazilah sebagai teologi resmi Negara.
Namun pada masa itu lahir pula teologi Ahlussunnah yang dideklarasikan oleh Abu
al-Hasan al-‘Asy’ari dan Al-Maturidi pada abad ke IX dan X Masehi.
Bidang kajian berikutnya adalah hadis (sunnah), yaitu
perilaku, ucapan, dan persetujuan (taqrir) Nabi, yang kemudian menjadi
sumber ajaran paling penting setelah Alqur’an. Pada awalnya hadis hanya
diriwayatkan dari mulut ke mulut, kemudian hadis nabi direkam dalam bentuk
tulisan pada abad kedua Hijriah. Oleh karena itu, hadis didefinisikan sebagai catatan
perilaku atau perkataan Nabi. Dalam pengertian yang lebih umum, hadis juga
didefinisikan sebagai catatan perilaku atau perkataan para Sahabat dan Tabi’in.
meskipun tidak setara
dengan Alqur’an, hadis nabi memiliki pengaruh yang sama terhadap pemikiran
Islam. Dalam hadis, Nabi Muhammad saw yang berbicara, sedangkan dalam Alqur’an
Allah yang berfirman. Dalam hadis hanya maknanya yang diwahyukan sedangkan
dalam Alqur’an, ungkapan verbal dan maknanya merupakan wahyu Allah.
Selama dua setengah abad setelah Nabi Muhammad saw wafat,
catatan tentang perkataan dan prilakunya terus bertambah. Terhadap berbagai
persoalan baik itu persoalan agama, politik, atau social, setiap kelompok
berusaha mencari hadis untuk memperkuat pendapatnya, baik itu hadis shahih maupun
hadis palsu. Perseteruan politik antara ‘Ali dan Abu Bakr, konflik antara
Mu’awiyah dan ‘Ali, permusuhan antara Daulah ‘‘Abbasiyah dan Daulah Umayyah,
serta persoalan superioritas anatara orang Arab dan non-Arab, membuka pintu
yang sangat lebar untuk menjamurnya pemalsuan hadis.
Abad ke-3 Hijriah menyaksikan penyusunan enam kitab hadis
yang sejak saat itu menjadi kitab hadis standar. Dari “enam kitab hadis” itu,
yang paling pertama dan paling otoritatif adalah yang dihimpun oleh Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari (810-870 M). Al-Bukhari adalah seorang keturunan bangsa
Persia. Ia memilih 7.397 dari 600.000 hadis yang ia peroleh dari 1.000 guru
dalam rentang waktu 16 tahun perjalanan, dan kerja kerasnya di Persia, Irak,
Suriah, Hijaz dan Mesir. Kitab hadis al-Bukhari memiliki pengaruh paling besar
terhadap pola piker orang islam setelah Alqur’an.
Setelah kitab hadis al-Bukhari, posisi kedua ditempati oleh
kitab hadis karya Muslim ibn al-Hajjaz (w. 875 M) dari Naisabur, sebuah karya
yang memiliki judul serupa yakni al-Shahih, yaitu kumpulan hadis shahih.
Hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim juga hamper sama dengan hadis
dalam kitab al-Bukhari, meskipun dengan sanad yang berbeda. Seteleah kedua
kitab hadis tersebut, posisi berikiutnya ditempati oleh empat koleksi hadis
lain yang dianggap sacral oleh umat islam. Keempat koleksi hadis itu adalah Sunan
Abu Dawud dari Bashrah (w. 888), Jami‘ al-Tirmidzi (w. 892 M), Sunan
Ibn Majah dari Qazwin (w. 886 M) dan Sunan al-Nasa’i, yang
meninggal di Mekah pada tahun 915 M.
b. Perkembangan dalam Kajian Hukum dan Etika (Akhlaq)
Islam.
Setelah
orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa pada abad pertengahan yang
melahirkan ilmu yurisprudensi, dan darinya berkembang sebuah system yang
independen. System tersebut dinamakan dengan Fiqh, yang pada prinsipnya
didasarkan atas Alqur’an dan sunnah (hadis). Fiqh adalah ilmu yang
memuat berbagai hukum Islam (Syari’ah), meliputi seluruh perintah Allah
swt sebagaimana tertuang dalam Alqur’an dan diuraikan dalam hadis yang
diwariskan kepada generasi berikutnya. Perintah-perintah itu meliputi aturan-aturan
yang terkait dengan praktik ibadah, kewajiban sipil, dan hukum (mu’amalah),
dan hukuman (‘uqubat).
Dari
sekitar 6.000 ayat Alqur’an, hanya sekitar 200 ayat yang bias disebut ayat-ayat
hukum yang kebanyakan merupakan ayat-ayat Madaniyah terutama surat ke-2
(al-Baqarah) dan ke-4 (al-Nisa‘). Terlihat jelas bahwa berbagai
ketentuan hukum di dalamnya tidak cukup memadai untuk menangani semua kasus
yang dihadapi umat islam dalam berbagai kondisi dan situasi baru di Suriah,
Irak, dan wilayah lain yang baru ditaklukkan. Oleh karena itu, dibutuhkan
sebuah pemikiran spekulatif yang melahirkan dua prinsip baru yaitu qiyas
(deduksi analogis) dan ijma‘ (kesepakatan bersama). Jadi, yurisprudensi
Islam memiliki sumber baru disamping Alqur’an dan hadis. Adapaun tentang ra’y,
yaitu penalaran rasional, meskipun sering dijadikan sandaran, ia hamper tidak
dipandang sebagai sumber hukum kelima.
Karena
perbedaan kondisi social dan latar belakang budaya dan pemikiran setiap
wilayah, pemikiran hukum islam pada gilirannya berkembang kedalam sejumlah
Madzhab pemikiran yang berbeda. Madzhab pemikiran Irak, misalnya, lebih
menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hukum ketimbang madzhab
Madinah yang lebih bersandar pada hadis. Tokoh paling terkenal dalam madzhab
ini adalah Abu Hanifah, yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit. Ia hidup di
Kufah dan Baghdad, dan meninggal pada tahun 767 M. ia bekerja sebagai seorang
pedagang. Abu Hanifah menjadi ahli hukum pertama dan paling berpengaruh dalam
Islam. Ajaran yang ia sebarkan secara lisan kepada muridnya yang salah satu
diantaranya adalah Abu Yusuf (w. 798 M) telah mewariskan pendapat gurunya dalam
karyanya, Kitab al-Kharaj. Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah menekankan
prinsip “prefensi” atau Istihsan, yang melepaskan diri dari ikatan
analogi untuk mengejar keadilan yang lebih besar.
Pemimpin
madzhab Madinah, yang lebih akrab dengan pola pikir Nabi, adalah Malik ibn Anas
(715-795 M), yang karyanya, al-Muwaththa merupakan kitab hukum Islam
tertua yang pernah ditemukan. Karya monumental ini, dengan 1700 hadis hukum,
menghimpun sunnah-sunnah Nabi, membuat rumusan pertama tentang ijma‘ (consensus)
masyarakat Madinah dan menjadi kitab hukum madzhab Maliki. Dari Maroko dan
Andalusia, madzhab ini telah melahirkan al-Awza’I (w 774 M) dan al-Zhahiri
(815-883 M), dan hingga saat ini masih bertahan diseluruh Afrika utara, kecuali
mesir bagian bawah dan Arab bagian timur. Setelah Abu Hanifah dan Malik ibn
Anas, berbagai kajian hukum berkembang pesat, sehingga menjadi cabang pemikiran
di dunia Islam yang dikaji secara besar-besaran.
Antara
madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab
lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah yakni menerima pemikiran
spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab ini didirikan oleh Muhammad ibn
Idris al-Syafi’i. Lahir di Gazza, Palestina pada tahun 767 M/150 H. Al-Syafi’i
adalah keturunan Quraisy, ia belajar kepada Malik ibn Annas di Madinah, namun
aktivitasnya adalah Baghdad dan Kairo. Ia meninggal pada tahun 820 M/204 H di
Kairo. Ajaran al-Syafi’i masih mendominasi Mesir bagian bawah, Afrika bagian
timur, Palestina, Arab bagian barat dan selatan, wilayah pantai India dan
Indonesia. Pengikutnya berjumlah sekitar 105 juta orang, sementara pengikut
Hanafi 180 juta orang, pengikut Malik 50 juta orang, dan pengikut Hanbali 5
juta orang.
Madzhab
keempat dan terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah
madzhab Hanbali, yang mengambil nama dari pendirinya yaitu Ahmad ibn Hanbal,
seorang murid al-Syafi’i, dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadis.
Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap bentuk
inovasi kalangan Muktazilah. Meskipun telah menjadi korban inkuisisi (mihnah),
dan pernah diikat dengan rantai pada masa al-Ma’mun, serta dihina, dan
dipenjara oleh al-Mu’tasim, Ibn Hanbal tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak
mengakui berbagai bentuk modifikasi terhadap keyakinan tradisional. Sekitar 800
ribu laki-laki dan 60 perempuan yang menghadiri pemakamannya di Baghdad pada
tahun 855 M menegaskan pengaruh kuat pengusung ortodoksi ini terhadap
masyarakat luas. Generasi berikutnya memuliakan makamnya seperti layaknya
seorang sufi dan menganugerahinya gelar Imam seperti yang mereka berikan
kepada Abu Hanifah, Malik ibn Anas, dan al-Syafi’i.
Dibidang
etika atau akhlaq meskipun sangat banyak jumlahnya, namun setidaknya
terdapat tiga jenis karya etika. Karya-karya tersebut membahas tatanan moral
yang paripurna, serta peningkatan kualitas semangat dan prilaku (adab).
Beberapa karya-karya ulama pada masa itu yang membahas tentang etika/akhlaq
yaitu al-Durrah al-Yatimah karya Ibn al-Muqaffa, kitab Adab al-Dunya wa
al-Din karya al-Mawardi, Kitab al-Akhlaq karya Hunayn yang pada
selanjutnya menjadi landasan filsafat moral Islam, serta kitab Tahdzib
al-Akhlaq, merupakan karya etika terbaik yang sarat dengan nuansa filosofis
yang pernah ditulis seorang muslim.
c. Perkembangan Sastra dan Bidang Kajian Lain
Apa
yang dinamakan “sastra Arab” bukanlah sastra Arab seperti halnya sastra-sastra
Italia dan sastra latin pada abad pertengahan. Penulis karya sastra Arab adalah
orang yang berasal dari berbagai etnis, dan secara keseluruhan mewakili
monument abadi sebuah peradaban, bukan semata monumen sebuah bangsa. Sastra
Arab dalam pengertian sempit, yakni adab mulai dikembangkan oleh
al-Jahiz (w. 868-869 M), guru para sastrawan Baghdad, dan mencapai puncaknya
pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah melalui karya-karya Badi al-Zaman al-Hamadzani
(969-1008 M), al-Sya’labi dari Naisabur (961-1038), dan al-Hariri (1054-1122
M). salah satu cirri penulisan prosa pada masa itu adalah kecenderungan untuk
menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolik dan bersayap.
Pada
masa Badi al-Zaman al-Hamadzani muncullah sebuah bentuk baru sastra yang
disebut sebagai maqamah, yaitu sejenis anekdot dramatis yang
substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan
puitis, pemahaman, dan kefasihan bahasanya. Pada kenyataannya, bentuk karya maqamah
bukanlah karya satu orang saja, melainkan merupakan perkembangan alami dari
prosa berirama, dan penyusunan kata bersayap seperti yang dilakukan oleh Ibn
Durayd dan para penulis sastra lainnya. Karya al-Hamadzani merupakan model bagi
al-Hariri dari Bashrah, yang selama tujuh abad maqamah-nya dipandang
sebagai warisan berharga, setelah Alqur’an di bidang sastra Arab.
Bentuk
sastra yang paling dikenal dunia sebagai warisan budaya paling menonjol dalam
bidang sastra pada masa Daulah ‘Abbasiyah adalah Alf Lailah wa Laylah atau
lebih dikenal dengan sebutan kisah seribu satu malam. Acuan penulisan sastra
tersebut adalah kisah-kisah dari penutur kisah local, kisah-kisah rakyat dari
timur dan Yunani terserap kedalamnya dan menjadikan istana khalifah Harun
al-Rasyid sebagai sumber pengambilan berbagai anekdot lucu dan kisah romantic
dalam jumlah besar.
Dalam
bidang puisi dan sajak tokoh Abu Nawas adalah yang paling popular di masa ke
khalifahan Harun al-Rasyid dan al-Amin. Ia merupakan seorang yang mampu
menyusun lagu terbaik tentang kisah-kisah romantic bahkan anekdot-anekdot yang
membuat decak kagum banyak orang. Puisi ghazal merupakan salah satu karya
Abu Nawas. Tokoh Abu Nawas yang kocak dan cerdas sering membuat seluruh
kehidupan istana khalifah Harun al-Rasyid menjadi lebih semarak.
C.
Latar Belakang Dinasti Abbasiyah
Nama Dinasti
Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW. Yang
bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiyah merasa lebih
berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan islam,sebab mereka adalah dari
cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi Muhammad
SAW.
Pemerintahan Bani
Umayyah adalah pemerintahan yang mempunyai wibawa yang besar,meliputi wilayah
yang luas.Mulai dari wilayah Sind dan berahir di Spanyol. Namun hanya Dinasti
ini hanya bisa bertahan kurang dari 1 abad karena kurang mendapat simpati dari
rakyatnya. Hal ini yang menyebabkan munculnya Dinasti Abbasiyah.
D.
Perkembangan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah
1)
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Proses berdirinya
Dinasti Abbasiyah ini diawali dari tahap persiapan dan perncanaan yang
dilakukan oleh Ali ibn Abdullah ibn Abbas,seorang zahid yang hidup pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Persiapan yang dilakukan Ali adalah
melakukan propaganda terhadap umat islam (utamanya Bani Hasyim).
Propaganda Muhammad ibn Ali mendapat sambutan
yang luar biasa dari masyarakat karena beberapa faktor yaitu meningkatnya
kekecewaan kelompok mawali terhadap Dinasti Bani Umayyah karena selama Dinasti
ini berkuasa mereka ditempatkan pada posisi kelas dua dalam sistem sosial
sementara orang-orang Arab menduduki kelas bangsawan,pecahnya persatuan antar
suku bangsa Arab dengan lahirnya fanatisme kesukuan antara Arab utara dengan
Arab selatan,timbulnya kekecewaan kelompok agama terhadap pemerintahan yang
sekuler karena mereka menginginkan pemimpin negara yang memiliki pengetahuan
dan integritas keagamaan yang mumpuni, perlawanan dari kelompok Syiah yang
menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh Bani Umayyah
karena mereka tidak mudah melupakan peristiwa tersebut.
Sebelum
menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah,para keluarga Abbas melakukan berbagai
persiapan dengan melakukan pengaturan strategi yang kuat dan persiapan yang
matang juga dukungan yang kuat dari masyarakat. Oleh karena itu sangat
diperlukan pemikiran matang dan strategi yang dapat memperhitungkan keadaan
untuk melakukan gerakan propaganda tersebut.
Ali bin Abdullah
bin Abbas kemudian digantikan anaknya Muhammad bin Ali.Pada masa Muhammad bin
Ali ini,usaha mendirikan dinasti Abbasiyah semakin meningkat dengan memperluas
gerakan antara lain kota al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan
organisasi,Kufah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan
praktis. Setelah Muhammad bin Ali wafat,beliau digantikan oleh anaknya Ibrahim
al-Imam.Guna mempertahankan wilayahnya beliau mengangkat panglima perang Abu
Muslim al-Khurasan dan berhasil merebut Khurasan dan mencapai
kemenangan.Setelah beliau wafat,perjuangannya diteruskan oleh adiknya yaitu Abu
Abbas bin Muhammad bin Ali,beliau ingin merangkul kekuatan dari keluaga lain
yaitu Bani Hasyim dan kaum Alawiyin yang tidak pernah mendapat perhatian dan
dikucilkan oleh Dinasti Umyyah.
Dengan bergabungnya
Bani Hasyim dan Kaum Alawyin maka gerakan Abu Abbas menjadi kekuatan yang
ditakuti oleh Bani Umayyah,melihat posisinya semakin terpojok akhirnya Marwan
bin Muhammad,peguasa terakhir Dinasti Bani Umayyah menyelamatkan diri dari
kejaran massa menuju ke wilayah Mesir tepatnya di Fustad,disitulah dia mati
terbunuh pada tahun 132 H/750 M. Terbunuhnya Khalifah terakhir Bani Umayyah ini
menandai era baru dalam perjalanan sejarah pemerintahan islam,kemudian
kekuasaan pindah ke tangan penguasa baru yaitu para penguasa yang berasal dari
keturunan Hasyim atau keturunan Abbas kemudian Dinasti ini disebut dengan
Dinasti Abbasiyah.
2)
Peta Wilayah Islam
Pada masa daulah
Bani Abbasiyah ini wilayah islam sangat luas,meliputi wilayah yang dikuasai
oleh Bani Umayyah antara lain Saudi Arabia, Yaman Utara, Yaman Selatan, Oman,
Uni Emirat, Arab, Quait, Iraq, Iran, Yordania, Palestina (Israel), Libanon,
Mesir, Libia, Tunisia, az-Zajair, Maroko, Spanyol, Afganistan, Pakistan.
Sikap politik
daulah Abbasiyah berbeda dengan daulah Bani Umayyah sebab dalam daulah Bani
Abbasiyah pemegang kekuasaan lebih merata,bukan hanya dipegang oleh bangsa
Arab,tetapi lebih demokratis melihat bahwa kekuasaan itu harus dibagi-bagi
dalam segala kekuatan masyarakatnya,maka bangsa Persia juga diberi kekuasaan
begitu juga bangsa Turki dan lainnya.
3)
Pemerintahan Bani Abbasiyah
Pemerintahan Bani
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khalifah Umayyah dimana pendiri dari
khalifah ini adalah keturunan al-Abbas,paman Nabi Muhammad SAW. Yaitu Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dimana pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik,sosial, dan budaya.
Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu,para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
a.
Periode pertama (132-232 H/750-847 M),disebut periode
pengaruh Arab dan Persia pertama.
b.
Periode kedua (232-334 H/847-945 M),disebut periode pengaruh
Turki pertama.
c.
Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M),Periode ini disebut
juga masa pengaruh Persia kedua.
d.
Periode keempat (447-590 H/1055-1194 M),disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua.
e.
Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M),masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain,tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Baghdad.
E.
Khalifah – Khalifah Bani Abbasiyah
Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.Secara politis,para khalifah
betul-betul kokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan, politik, dan
agama.Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.Periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam islam.
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai keemasan dibawah pimpinan
al-Mahdi,al-Hadi,Harun ar-Rasyid,al-Ma`mun,al-Mu`tashim,al-Wasiq dan
al-Mutawakil.
Ø Al-Mahdi (775-785
M)
Al-Mahdi dilahirkan
di Hamimah pada tahun 126 H. Sewaktu ayahnya al-Mansur mulai menjadi khalifah,
al-Mahdi berusia 10 tahun dan Isa bin Musa sebagai putra mahkota bakal
pengganti al-Mansur menurut perjanjian yang dibuat oleh Abul Abbas as-Saffah,tetapi
al-Mansur berniat untuk mencalonkan anaknya menjadi penggantinya kelak.Karena
itu beliau mengambil langkah-langkah untuk mengasuh dan mengajarnya tentang
kepahlawanan dan cara-cara memimpin tentara.
Ketika al-Mahdi
menjadi khalifah,negara telah dalam keadaan stabil dan mantap,dapat
mengendalikan musuh-musuh dan keuangannya pun telah terjamin.Karena itu zaman
pemerintahan al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan hidup dalam
kedamaian.
Al-Mahdi telah
memerintah supaya dibangun beberapa buah bangunan besar di sepanjang jalan yang
menuju ke Makkah sebagai tempat persinggahan para musafir,memerintahkan supaya
dibuat kolam-kolam air untuk kepentingan kelompok-kelompok kafilah dan
hewan-hewan mereka dan mengadakan hubungan pos di antara kota Bagdad dan
wilayah-wilayah islam yang terkemuka.
Ø Al-Hadi (775-786 M)
Al-Hadi adalah
khalifah pengganti al-Mahdi yang merupakan anaknya sendiri,pada tahun 166 H
al-Mahdi melantik pula anaknya yang seorang lagi yaitu Harun ar-Rasyid sebagai
putra mahkota bakal pengganti al-Hadi.Kalau al-Mahdi wafat,al-Hadi dilantik
menjadi khalifah yang menggantikannya secara resmi.
Khalifah al-Hadi
ialah khalifah yang tegas,walaupun beliau gemar berhibur dan bersenda
gurau,tetapi semua itu tidak melalaikannya dari memikul tanggung jawab.
Seperti yang telah
diketahui khalifah al-Hadi adalah seorang yang berhati lembut, berjiwa bersih,
berakhlak baik, baik tutur katanya, senantiasa berwajah manis dan jarang
menyakiti orang.
Ø Harun ar-Rasyid
(785-809 M)
Harun ar-Rasyid
dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H,ibundanya adalah Khaizuran,bekas seorang
hamba yang juga ibunda al-Hadi.Beliau telah dibesarkan dengan baik sewaktu
beliau diasuh agar berpribadi kuat dan berjiwa toleransi.Ayahanda beliau
al-Mahdi telah memikulkan beban yang berat,bertanggung jawab memerintah negeri
dengan melantik beliau sebagai amir di Saifah pada tahun 163 H.Pada tahun 164 H
beliau dilantik memerintah seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di Afrika
Utara.Harun ar-Rasyid telah melantik pula beberapa orang pegawai tinggi
,mewakili beliau di kawasan-kawasan tersebut.
Pribadi dan akhlak
Khalifah Harun ar-Rasyid adalah baik dan mulia yang menyebabkan beliau sangat
dihormati dan disegani.Beliau adalah salah seorang khalifah yang suka
bercengkrama,alim dan dimuliakan.Selain itu,beliau juga terkenal sebagai
seorang pemimpin yang pemurah dan suka berderma.Beliau juga menyukai musik,ilmu
pengetahuan dan dekat dengan para ulama serta penyair.
Pada zaman
pemerintahan Harun ar-Rasyid,Baitul Mal ditugaskan menanggung narapidana dengan
memberikan setiap orang makanan yang cukup serta pakaian musim panas dan musim
dingin.Sebelum itu khalifah al-Mahdi juga berbuat demikian tetapi dengan nama
pemberian,sementara Khalifah Harun ar-Rasyidmenjadikannya suatu tugas dan tanggung jawab Baitul Mal.
Khalifah Harun
ar-Rasyid mampu membawa negeri yang dipimpinnya ke masa kejayaan, kemakmuran
dan kesejahteraan. Berikut usaha Harun ar-Rasyid selama masa pemerintahannya:
v Mengembagkan bidang
ilmu pengetahuan dan seni.
v Membangun gedung-gedung
dan sarana sosial.
v Memajukan bidang
ekonomi dan industri.
v Memajukan bidang
politik pertahanan dan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Ø Al-Ma`mun (813-833
M)
Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abdul Abbas
al-Ma`mun, adalah anak dari Khalifah Harun ar-Rasyid yang dilahirkan pada
tanggal 15 Rabiulawal tahun 170 H/786 M.Kelahirannya bertepatan dengan wafat
kakeknya yaitu Musa al-Hadi,juga bersamaan dengan waktu ayahnya diangkat
menjadi khalifah.Adapun ibunda al-Ma`mun adalah seorang bekas hamba sahaya yang
bernama Marajil.
Selain sebagai seorang pejuang yang pemberani beliau juga
sebagai seorang pengusaha yang bijaksana.Semangat berkarya, bijaksana,
pengampun, adil, cerdas merupakan sifat-sifat yang menonjol dalam pribadi
al-Ma`mun.
Khalifah Abdullah al-Ma`mun selama menjabat sebagai pemimpin
Daulah Abbasiyah telah berusaha melakukan perbaikan-perbaikan hal-hal sebagai
berikut :
v Menghentikan
berbagai gerakan pemberontakan untuk menciptakan stabilitas dalam negeri.
v Penertiban
administrasi negara untuk penataan kembali sistem pemerintahan.
v Pembentukan badan
negara.
v Pembentukan Baitul
Hikmah dan Majlis Munazarah.
Lembaga Baitul
Hikmah berfungsi sebagai perpustakaan (daur al-kutub), yang tampaknya juga
aktif disana para guru, para ilmuan, disamping aktivitas Penerjemahan,
penulisannya dan penjilidannya.
Ø Al-Mu`tashim
(833-842 M)
Abu Ishak Muhammad Al-Mu`tashim lahir pada tahun 187
H.Ibunya bernama Maridah.Beliau dibesarkan dalam suasana ketentaraan,karena
sifat berani dan minatnya untuk menjadi pahlawan. Di masa pemerintahan
al-Ma`mun, al-Mu`tashim merupakan tangan kanannya dalam menyelesaikan kesulitan
dan memimpin peperangan. Al-Ma`mun juga melantik al-Mu`tashim sebagai
pemerintah di negeri Syam dan Mesir,kemudian melantiknya pula sebagai putra
mahkota. Al-Mu`tashim menyandang jabatan khalifah sesudah wafatnya, al-Ma`mun.
Khalifah pindah bersama korp-korps kayangannya ke Samara.Di
sana beliau mendirikan istana,masjid dan sekolah-sekolah.Tidak lama kemudian
Samara mulai megah seperti Baghdad, tetapi
beliau tidak pernah menggantikan Baghdad sebagai pusat intelektual yang
besar.Hal ini juga didukung oleh kondisi perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa ini berkembang dengan pesat,bukan hanya ilmu pengetahuan umum tetapi ilmu
pengetahuan agama.
Ø Al-Watsiq (842-847
M)
Al-Watsiq dilahirkan pada tahun 196 H,ibunya keturunan Roma
bernama Qaratis.Al-Watsiq berperibadi luhur,berpikiran cerdas dan berpandangan
jauh dalam mengurus segala perkara.Bapaknya telah memberinya kekuasaan di
Baghdad,ketika al-Mu`tashim berpindah ke Samara bersama-sama dengan angkatan
tentaranya kemudian melantiknya sebagai putra mahkota bakal khalifah.Al-Watsiq
telah menyandang jabatan khalifah setelah wafatnya al-Mu`tashim,ayahnya.
Al-Watsiq adalah penguasa yang sangat cakap, pemerintahannya
mantap dan penuh perhatian, beliau banyak memberikan uang dan menolong ilmu
pengetahuan sepenuhnya, industri maju dan perdaganagn lancar.
Ø
Al-Mutawakkil (847-861 M)
Ja`far al-Mutawakil adalah putra al-Mu`tasim Billah
(833-842) dari seorang wanita persia.Beliau menggantikan saudaranya al-Watsiq.
Selama masa pemerintahannya al-Mutawakil menunjukkan rasa toleran terhadap
sesama. Al-Mutawakkil mengandalkan negarawan Turki dan pasukannya untuk meredam
pemberontakan dan memimpin pasukan menghadapi pasukan asing. Al-Mutawakkil
wafat pada tanggal 11 Desember 861 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
dasarnya Daulah ‘Abbasiyah ini terutama periode-periode awal adalah puncak
keemasan peradaban Islam (The Golden Age of Islamic Civilization), dari
sanalah lahir beberapa tokoh yang mampu melahirkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan menjadi lebih maju. Ada beberapa factor yang menyebabkan majunya
ilmu pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasiyah diantaranya adalah adanya
persamaan dalam hal superioritas antara bangsa Arab dan Bangsa non-Arab
sehingga banyak menyumbangkan pemikir-pemikir yang handal tanpa memandang
kesukuan dan bangsa. Factor kedua adalah dukungan dari penguasa saat itu
diantaranya khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun yang keduanya sangat
mendukung terhadap ilmu pengetahuan dengan bangunnya Bait al-Hikmah yang
salah satu aktivitasnya adalah gerakan penerjemahan buku-buku berbahasa asing
baik itu Yunani, Persia, India maupun bahasa lainnya.
Ada
perbedaan yang mencolok dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
Daulah ‘Abbasiyah ini yaitu dalam hal orang-orang yang berhasil mengembangkan
ilmu pengetahuan tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan bidang sains lebih
didominasi oleh orang-orang dari luar bangsa Arab, seperti Persia dan Turki
yang memang mempunyai kelebihan dan minat terhadap ilmu-ilmu sains dibandingkan
dengan orang-orang bangsa Arab yang lebih berminat mengembangkan ilmu
pengetahuan yang berlandaskan keagamaan seperti halnya dalam bidang teologis,
hadis, fikih, dan tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Amīn, Dluhā al-Islām, Kairo, Maktabah Nahdlah Al-Misriyah,
Vol. I, Cet. 7.
Ahmad
Ma`mūr al-`Usayri, Mūjaz al-Tārikh al-Islāmi, Damām, Maktabah
al-Malik Fahd al-Wataniyah, Cet. 3, 2004.
Ahmad
Shalabi, Mawsū`ah al-Tārikh al-Islāmi wa al-Hadlārah al-Islāmiyah,
Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. III, Cet.8, 1985.
Bernard
Lewis, ‘AbbÉsid, dalam E. Van Donzel et. al. (Ed.), The
Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997.
Eric
Hanne, ‘Abbasids, dalam Josef W. Meri (Ed.), Medieval
Islamic Civilization: An Encyclopaedia, New York & London, Routledge,
2006.
George
Modelski, World Cities: –3000 to 2000, Washington DC: FAROS 2000,
2003
Hāji Khalīfah, Kashf
al-Dzunūn, bab. `Ilm Al-Hikmah, vol. I, hlm 676 (dalam Software
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1984
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh
al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo,
Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Vol. II, Cet. 14, 1996
http://en.wikipedia.org/wiki/House_of_Wisdom, diakses terakhir pada tanggal 13
Oktober 2011
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, hal. 476; Alfred Guillaume, The Traditions of
Islam (Oxford, 1924).
Ibn
al-Nadīm al-Baghdādi, Al-Fihrist, hlm. 304 (dalam Software
al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32).
Jalāluddīn
Al-Suyūti, Tārikh al-Khulafā, Tahqīq: Ahmad Ibrāhīm
Zahwah & Sa`īd Ibn Ahmad al-`Aidrūsi, Beirut, Dār
al-Kitāb al-`Arabi, 2006.
Muhamad
al-Sādiq `Afīfi, Tatawwur al-Fikr al-’Ilmi`Inda al-Muslimīn,
Kairo, Maktabah al-Khānji, 1976-1977.
Muhamad
Ibn Sa’d ibn Manī`,Al-Tabaqāt al-Kubrā, Tahqiq: Ihsān Abbās,
Beirut, Dār Sādir, Cet. 1, 1986
M.M.
Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu, diterjemahkan
dan dikomentari serta diberi beberapa tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi dari
buku aslinya berjudul Islamic Thought: It’s Origin and Achievements,
Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, Cet. 8, 1986.
Philip
K. Hitti, History of Arabs 3rd Edition, London: Macmillan and
Co., Limited St. Martin’s Street, 1946.
Siddīq Ibn Hasan
al-Qannūji, Abjad al-`Ulūm al-Washi al-Marqūm fī Bayān Ahwāl al-`Ulūm,
Vol. I, hlm.179 (dalam Software al-Maktabah al-Shamilah Edisi 2.32.
Sulaymān
al-Khatīb, Usus Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām, Kairo,
Al-Zahrā’ li al-I`lām al-`Arabi, Cet.I, 1986
Vartan
Gregorian, Islam : A Mosaic, Not a Monolith, Brookings Institution
Press, 2004
Asnawi,Muh,Sejarah
Kebudayaan Islam,Semarang:CV.Aneka Ilmu,2009
Ismiyatun,Sejarah
Kebudayaan Islam,Madrasah Tsanawiyah
Karim,Abdul,M,Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam,Yogyakarta:Pustaka Book Publisher,2007
Sanusi, Ja`far,
dkk, Sejarah Kebudayaan Islam,
Madrasah Aliyah III, Semarang: CV.Wicaksana
Syalabi, A, Sejarah
dan Kebudayaan Islam III, Jakarta: PT.Al Husna Zikra, 2000, cet ke-3
Syukur,Fatah,Sejarah Peradaban Islam,Semarang:PT.Pustaka
Rizki,2009
Yatim,Badri,Sejarah Kebudayaan Islam II,Semarang:-,1996
http://erna-wati.blogspot.com/faktor-faktor-pendukung-dan-lahirnya.html,(14/11/2010)
0 comments:
Post a Comment