BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits adalah suatu
perkataan dan perbuatan yang berasal dari nabi Muhammad SAW. Hadits merupakan
sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan kita setelah
Al-Quran.
Namun saat ini banyak
terdapat hadits palsu yang oleh beberapa oknum digunakan untuk kepentingan
mereka sendiri, tentunya sebagai mahasiswa islam kita wajib mengetahui mana
hadits yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam dengan benar..
B.
Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini
adalah “Pembagian dan
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawi”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan,
maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1.
Apa itu hadits mutawattir?
2.
Bagaimana sebuah hadits dapat dikatakan sebagai
hadits yang mutawattir?
3.
Bagaimana definisi hadits ahad?
4.
Apa saja macam-macam hadits ahad?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
a. Definisi hadits mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah, mutatabi
yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriringan antara satu
dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]
Sedangkan hadits mutawatir menurut istilah terdapat beberapa formulasi
definisi, antara lain sebagai berikut: Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta[2].
Sementara itu Nur ad-Din Atar mendefinisikan : Hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak
awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan panca indra.
Habsy As-Sidiqie dalam bukunya Ilmu Musthalah al
hadits mendefinisikan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
berdasarkan pengamatan panca indra orang banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil
untuk berbuat dusta.
Menurut bahasa, mutawatir isim
fa’il dari at-tawatur memilki makna yang sama dengan mutabi’ yang artinya
beriringan, berturut-turut atau beruntun. Menurut istilah ialah : “hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang, berdasarkan panca indsra, yang menurut
kebiasaan mereka mustahil terlebih dahulu melakukan dusta / kebohongan, keadaan
periwayatan terus menerus demikian mulai dari awal hingga akhir sanad”.
b. Syarat- syarat hadits mutawatir
1. Pewartaan yang disampaikan oleh
rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang
mereka sampaikan itu benar-benar hasil penglihatan atau pendengaran sendiri.
2. Jumlah rowi-rowinya harus mencapai
suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong. Ulama
hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat
dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi,
sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti
tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah. Ada yang
minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau
mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua
puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh
puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang
laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu
Perang Badar. Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut
mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara
rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh
berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh
sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’I dan seterusnya
hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir.
Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan
ketiga.[3]
c. Pembagian hadits mutawatir
Para ahli ushul membagi hadits
mutawatir kepada dua bagian. Yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat
yang satu dengan yang lainnya [4]. Contoh hadits mutawatir lafdzi
adalah:
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ
عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى
أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
artinya”Barang siapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih
dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti
diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi
pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada
prinsipnya[5].
Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan
ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang
berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad
mengangkat tangan saat berdo’a.
Hadits Mutawatir Amali adalah : Amalan agama yang dapat
diketahui dengan mudah, dan telah mutawatir diantara kaum muslimin (mulai dari
para sahabat, tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang) bahwa
nabi mengerjakannya atau memerintahkannya. Misalnya tentang jumlah rakaat dalam
shalat fardhu yang lima, sholat janazah dan shalat aid adalah merupakan hal hal
yang diperintahkan agama dan selalu dikerjakan sejak masa nabi, para sahabat
dan dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya
d. Faedah hadits mutawatir
Hadits mutawatir itu memberikan
faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai
dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada
keyakinan qoth’i
(pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu
hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan
tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits
tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits
diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi
mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang
disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak
perlu dipersoalkan, baik mengenai kesdilan maupun kedhobitannya, sebab dengan
adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas,
menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.
e. Hukum Hadits Mutawatir
Mayoritas ulama’ berpendapat
bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadits mutawatir, sama kedudukannya dengan
keyakinan yang diperoleh melalui kesaksian langsung dengan panca indra, oleh
karena itu ia berfaidah sebagai ilmu dharuri (pengetahuan yang mesti diterima),
sehingga membawa keyakinan yang qat’i. oleh karena itu petunjuk yang diperoleh
dari hadits mutawatir wajib dilaksanakan.
B. Hadits Ahad
1.
Pengertian Hadits Ahad
Terdapat banyak pengertian tentang hadis
Ahad, yang antara satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Di antaranya :
·
Suatu hadis (khabar) yang jumlah
pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis Mutawatir[6],
baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis
tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir.
·
Hadis Ahad ialah hadis yang para rawinya
tidak sampai pada jumlah rawi hadis Mutawatir, tidak memenuhi syarat
persyaratan Mutawatir dan tidak pula mencapai derajat Mutawatir, sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis: Hadits ahad merupakan Hadis yang
tidak mencapai derajat Mutawatir.
Karena hadis Ahad ini jelas tidak mencapai
derajat Mutawatir, maka keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini
tergantung pada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila
sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk untuk mempergunakannya
sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bersambung dan kualitas
periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu harus dijadikan dasar.
2.
Pembagian Hadits Ahad
Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis
Ahad dibagi menjadi 3 yakni: hadis Masyhur, hadis Azis dan hadis Gharib.
a.
Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa artinya
nampak. Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur ialah Hadits yang di
riwayatkan oleh tiga orang atau lebih[7],serta
belum mencapai derajat Mutawatir.
Hadis Masyhur tersebut juga disebut
hadis Mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada
hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak
tingkatan pertama, kedua sampai terakhir. Sedang hadis Masyhur jumlah rawinya
untuk tiap tingkatan tidak harus tiga orang. Jadi hadis yang pada tingkatan
selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu adalah termasuk juga
hadis Masyhur. Contohnya sebuah hadits yang berbunyi “ Hanyasanya
amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa
yang ia niatkan “ (Muttafaq “Alaihi).
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah
tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh hadits
yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai sanad, baik berstatus
shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur. Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa
hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan
kwajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Contoh lain dari hadits masyhur:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ
بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Hadis tersebut sejak tingkatan pertama
(sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadis (dalam hal ini
adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
Hadis masyhur ini ada yang berstatus
sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis
masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadis sahih baik pada sanad
maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah
apabila telah mencapai ketentuan hadis hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika
tidak memenuhi ketentuan hadis sahih.
b.
Hadits Aziz
Hadis Azis ialah Hadis yang diriwayatkan
oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah
saja [8], kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya (diriwayatkan
orang banyak).
Berdasar pengertian tersebut bahwa hadis Azis
bukan yang hanya diriwayatkanoleh dua orang rawi pada setiap thabaqah,
tetapi selagi pada salah satu thabaqah saja, didapati dua orang
rawi sudah bisa dikatakan hadis Azis.
Ibnu Hibban Al Busty berpendapat bahwa
hadis Azis yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi,
sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak
sekalikali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada,
hanya saja sulit untuk dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi suatu hadis yang
pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya
diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur,
karena perawi pada thabaqat – thabaqat seterusnya berjumlah
banyak.
Contoh hadis Azis
عَنْ أَبِ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori
dan Muslim dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang
sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan
–ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
Hadis Azis ada yang shahih, hasan dan
dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dhaif. Sebagaimana halnya hadis
Masyhur.
c.
Hadits Gharib
Hadis Gharib, ialah : Hadis yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan[9],
di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Adapun maksud daripada penyendirian
perawi, bisa berarti : mengenai personnya, yaitu tidak ada orang lain yang
meriwayatkan selain dia sendiri. Atau mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni
perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan
hadis itu. Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut, perawi tersebut,
maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib
Nisbi.
a. Gharib mutlak
Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila
penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut
hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus
berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabiin, bukan sahabat, karena yang
menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk
menetapkan apakah ia dapat diterima atau tidak.
Contohnya:
أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ
أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ أَنْبَأَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْبَاقِى
الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْرِ بْنُ النَّحَّاسِ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – قَالَ : الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ
يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ.
Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu
Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya.
Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan
dapat dipercaya.
b. Gharib Nisbi
Sedang yang dikategorikan gharib nisbi
adalah apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal
sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang
perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini
diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi
tersebut. Misalnya: hadits malik, dari Zuhri, dari Anas R.A, “Bahwa nabi SAW
masuk kota mekah dengan menutup kepala diatas kepalanya”. Hadits ini dinamakan
dengan Gharib Nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi
tertentu.
Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa
terjadi berkaitan dengan kesiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota
tertentu.
Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan
dengan kota atau tempat tinggal tertentu:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ
الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ قَالَ أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud
dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini
berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota
lain.
3. Pembagian Khabar Ahad menurut Kuat dan
Lemahnya
Kata maqbul ( مقبول) secara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardu ( مردود)
berarti “ditolak”.
a. Hadis Maqbul
Klasifikasi Hadis Maqbul
1) Hadis Shahih (الحديث الصحيح)
Merupakan tingkatan
hadis maqbul yang paling tinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
dari berbagi seginya.
2) Hadis Hasan(الحديث الحسن)
Merupakan hadis yang
tidak memiliki syarat sebagai hadis shahih tetapi tidak terlalu rendah
derajatnya.
3) Hadis Shahih li Ghairih(الحديث الصحيح لغيره)
Hadis ini seperti
laiknya hadis hasan tetapi oleh karena sebab lainnya maka hadis tersebut dapat
diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti hadis shahih sebagai sumber hukum
karena tidak ditemukannya hadis shahih ketika itu.
4) Hadis hasan li Ghairih (الحديث الحسن لغيره)
Merupakan hadis yang
semula berstatus sebagai hadis dha’if kemudian naik derajatnya menjadi hadis
hasan karena factor-faktor tertentu yang dating, kemudian hingga menjadikannya
mampu menempati posisi hadis hasan.
b. Sifat Hadis Maqbul
Ditinjau dari segi
sifatnya, hadis maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan
karakteristik sebagai hadis yang diterima, yakni tiga sifat berupa:
1) Hadis mutawatir
2) Hadis Ahad yang marfu’, musnad dan shahih
3) Hadis Ahad yang marfu’, musnad dan hasan
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui
bahwa hadis maqbul bisa bersifat muhkam (محكم) jika tidak diketahui adanya perselisihan
(mukhtalif) dengan hadis lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (dikerjakan,
yu’malu bihi).
c.
Tingkatan Hadis Maqbul
Tingkatan hadis maqbul
ditinjau dari derajat dan fungsionalnya adalah sebagai berikut:
1)
Ma’mul Bih (المعمول به)
yakni hadis seharusnya
diamalkan pesan-pesannya
2)
Ghair ma’mul Bih (به غير المعمول)
yaitu hadis yang isinya
tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi.
d.
Hadis Mardud
Hadis mardud pada dasarnya adalah hadis
dha’if yang ditolak karena memiliki ciri-ciri antara lain adalah sanadnya tidak
bersambung, terputus (inqitha’) dan karena alasan lain seperti terdapat perawi
yang cacat dalam sanadnya.
Hadis mardud ditinjau dari segi fungsinya
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum (istinbath al-hukm).
Hadis dha’if yang merupakan hadis mardud
dibedakan menjadi dua karena alasan yang berbeda, yaitu hadis dha’if karena
sanadnya tidak bersambung atau terputus (munqathi’) dan hadis dha’if Karena
alasan lain seperti adanya cacat dalam sanad atau matan.
Hadis Dha’if karena sanadnya tidak bersambung,
atau munfashil
1.
Hadis Mursal
Secara harfiah, kata
mursal (مرسل) berarti dilepaskan atau dikirim. Hadis mursal ( الحديث المرسل)
adalah hadis yang disandarkan oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan
nama sahabat yang membawa hadis.
2.
Hadis Munqathi’
Kata munqathi’ (منقطع) berarti terputus, tidak tersambung, lawan dari kata
muttashil (متّصل). Hadis munqathi’ (الحديث المنقطع) adalah hadis yang dalam
sanadnya gugur seorang atau dua orang secara tidak berurutan.
Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya terjadi hubungan yang
terputus (inqitha’) atau tidak bersambung (infishal), baik seorang atau dua
orang. Adapun cara mengetahui inqitha’ adalah dengan meneliti pertemuan atau
hubungan antara perawi-perawi (murid dan guru atau sami’ dan mudi’) yang ada
didalam sanad dengan melihat riwayat hidup (tarjamah) masing-masing.
3.
Hadis Mu’dal
Adalah hadis yang gugur
atau terputus dua perawi atau lebih di pertengahan sanad secara berurutan
(mutawaliyan). Sikap perawi dalam menggugurkan perawi dalam riwayat dinamakan
I’dhal (إعضال).
4.
Hadis Mudallas
Mudallas merupakan kata dalam bentuk maf’ul yang berasal dari mashdar
tadlis. Secara harfiah kata mudallas berarti sesuatu yang dibuat menjadi gelap
atau dijadikan samar-samar, atau tidak jelas.
Hadis mudallas adalah hadis yang terdapat perawi yang digugurkan oleh
seorang perawi secara sengaja dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun
perawi yang menutupi aib diatasnya (gurunya) dinamakan mudallis, sedangkan perbuatannya
dinamakan tadlis.
e.
Hadis Dha’if karena sebab-sebab lainnya
1.
Hadis Mudltharib
Kata mudltharib merupakan bentuk kata pelaku (isim fa’il) dari masdar
idlthirab yang berarti perubahan atau kerusakan. Hadis mudltharib adalah hadis
yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan oleh seseorang
atau banyak perawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti.
Hadis-hadis mudltharib jumlahnya tidak sedikit. Syaikh al-Islam al-Hafidh
telah mengumpulkannya dalam kitab al-Muqtarib fi Bayan al-Mudltharib.
2.
Hadis Maqlub
Maqlub berarti yang digantikan atau dibalikkan. Dia adalah kata benda dalam
bentuk isim maf’ul dari kata qalb yang berarti berubah-ubah atau
berganti-ganti.
Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
didalamnya terjadi keterbalikan, baik dalam sanad maupun dalam matan misalnya
dengan mendahulukan bagian belakang, atau mengakhirkan yang terdahulu.
3.
Hadis Syadz
Secara harfiah kata syadz berarti seorang yang menyendiri (munfarid) dari
kelompok umum (jumhur). Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqoh tetapi berlainan dengan riwayat dari kebanyakan perawi yang tsiqah
pula. Kebalikan dari hadis syadz adalah hadis mahfudh.
4.
Hadis Munkar
Kata munkar berarti yang diinkari secara harfiah. Hadis munkar adalah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah (dla’if), yang
menyalahi/berbeda riwayat perawi yang tsiqah, atau riwayat yang lebih lemah
lagi.
5.
Hadis Matruk
Secara harfiah, kata matruk berarti ditinggalkan. Hadis matruk adalah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik
terkait dengan masalah hadis maupun masalah lainnya, atau tertuduh sebagai
seorang fasiq, atau Karena sering lalai dan salah, ataupun banyak sangka.
6.
Hadis Mu’allaq
Adalah hadis yang gugur perawinya, baik
seorang, dua orang maupun semuanya pada awal sanad. Sikap perawi dalam
menggugurkan perawi sebelumnya disebut dengan terma ta’liq
4.
Karifikasi
Berdasarkan Kuantitas Perawi
a.
Hadis Marfu’
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul
dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang
diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki
kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah
“sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun
secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu
shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’
(terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa
hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu :
marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah
isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’
karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya:
a)
Perkataan yang marfu’ tashrih :
seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
b)
Perkataan yang marfu’ secara hukum
: seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat
berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan
makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan
datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya
pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami
dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
c)
Perbuatan yang marfu’ tashrih :
seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam melakukan begini”.
d)
Perbuatan yang marfu’ secara hukum
: seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana
hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata
(melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat
burud [Burud merupakan jamak dari bard,
yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
e)
Penetapan (taqrir) yang marfu’
tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di
hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
– dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
f)
Penetapan yang marfu’ secara hukum
: seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
g)
Sifat yang marfu’ tashrih : seperti
perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah
lembut”.
h)
Sifat yang marfu’ secara hukum :
seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah
diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan.
Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah
sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang
menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan
sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi,
meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’
b.
Hadis
Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata
waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada
sahabat.[10]
Mauquf menurut pengertian istilah ulama hadis adalah:
مَا اُضِيْفَ إِلَي الصَحَابِيْ مِنْ قَوْلٍ
أَوْ فِعْلٍ أَوْ نَحْوٍ مُتَّصِلًا كَانَ مُنْقَطِعًا
“Sesuatu
yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir,
baik bersambung sanadnya maupun terputus.”
Sebagian
ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah: “Hadis yang disandarkan seseorang
kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”.[11]
Dari berbagai definisi di atas dapat
kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau
segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung
sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya
sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Berikut ini adalah contoh hadis mauquf
antara lain:
a) Hadis
mauquf qauli (yang berupa perkataan)
Ali
bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang
mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”
b) Hadis
mauquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari,
“Ibnu
Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”
c) Hadis
mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in
“Aku telah melakukan
begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”
c.
Kehujjahan
Hadis Mauquf
Ada prinsipnya hadis mauquf tidak dapat
dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (menjadikan) marfu’,[12]
karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata, tidak disandarkan
kepada Rasulullah saw.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang
selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan
hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang
kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat
kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa.[13]
Di antara hadis mauquf terdapat hadis
yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna
marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadis yang demikian dinamai
oleh para ulama hadis dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu secara
lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’ (hadis marfu’ hukmi),
sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadis marfu’ sebelumnya.
d.
Hadis
Maqthu’
Menurut
bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata قَطَّعَ يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌyang
berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung.
Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya
sampai kepada tabi’in saja.
Menurut
istilah hadis maqthu‟ adalah “Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in
dan orang setelahnya daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik
berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.
Perbedaan
antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah
bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadis
yang maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan
bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan munqathi’ sanadnya
tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Dari
berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan,
atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis
maqthu’. Contoh Hadis Maqthu’
1. Hadis
maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang
sholat di belakang ahli bid’ah:
“Shalatlah dan dialah
yang menanggung bid’ahnya”
2. Hadis
maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad
al-Muntasyir.
“Masruq membentangkan
pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya, dan
membiarkan mereka dengan dunia mereka”
3. Hadis
maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin
‘Utaibah, ia berkata:
“Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga)
shalat disitu.” Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan
bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
e.
Kehujjahan
Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan
hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari Rasulullah saw,
hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.
Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan
bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in sama
dengan perkataan ulama lainnya terputus.
[1]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 19
[2]
Idem
[3]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 20
[4]
Idem
[5]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 21
[6]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 22
[7]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 23
[8]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 26
[9]
Kitab “Taisiru Mustolah
Hadits” hal. 28
[10]
Fatchur Rahman, Ihtisar
Musthalahul Hadis, (Bandung: Al- Maarif, 1995), h.75
[11]
Muh. Zuhri, Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),
h.86
[12]
Mifdhol
Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2009), h. 113
[13]
Ahmad Hady Mufaat, Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadis
dan Musthalahnya, (Semarang: Sarana Aspirasi, 1994), h. 153
0 comments:
Post a Comment