Monday, January 4, 2016

STUDI HADIST



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits adalah suatu perkataan dan perbuatan yang berasal dari nabi Muhammad SAW. Hadits merupakan sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan kita setelah Al-Quran.
Namun saat ini banyak terdapat hadits palsu yang oleh beberapa oknum digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, tentunya sebagai mahasiswa islam kita wajib mengetahui mana hadits yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam dengan benar..
B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah “Pembagian dan Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawi”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1.      Apa itu hadits mutawattir?
2.      Bagaimana sebuah hadits dapat dikatakan sebagai hadits yang mutawattir?
3.      Bagaimana definisi hadits ahad?
4.      Apa saja macam-macam hadits ahad?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
a. Definisi hadits mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah, mutatabi yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1] Sedangkan hadits mutawatir menurut istilah terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut: Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta[2]. Sementara itu Nur ad-Din Atar mendefinisikan : Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan panca indra.
Habsy As-Sidiqie dalam bukunya Ilmu Musthalah al hadits mendefinisikan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra orang banyak yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta.
Menurut bahasa, mutawatir isim fa’il dari at-tawatur memilki makna yang sama dengan mutabi’ yang artinya beriringan, berturut-turut atau beruntun. Menurut istilah ialah : “hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, berdasarkan panca indsra, yang menurut kebiasaan mereka mustahil terlebih dahulu melakukan dusta / kebohongan, keadaan periwayatan terus menerus demikian mulai dari awal hingga akhir sanad”.
b. Syarat- syarat hadits mutawatir
1.      Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu benar-benar hasil penglihatan atau pendengaran sendiri.
2.      Jumlah rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong. Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
3.      Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’I dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.[3]
c. Pembagian hadits mutawatir
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya [4]. Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
artinya”Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.
 Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya[5]. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
Hadits Mutawatir Amali adalah : Amalan agama yang dapat diketahui dengan mudah, dan telah mutawatir diantara kaum muslimin (mulai dari para sahabat, tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang) bahwa nabi mengerjakannya atau memerintahkannya. Misalnya tentang jumlah rakaat dalam shalat fardhu yang lima, sholat janazah dan shalat aid adalah merupakan hal hal yang diperintahkan agama dan selalu dikerjakan sejak masa nabi, para sahabat dan dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya
d. Faedah hadits mutawatir
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai kesdilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.
e. Hukum Hadits Mutawatir
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadits mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh melalui kesaksian langsung dengan panca indra, oleh karena itu ia berfaidah sebagai ilmu dharuri (pengetahuan yang mesti diterima), sehingga membawa keyakinan yang qat’i. oleh karena itu petunjuk yang diperoleh dari hadits mutawatir wajib dilaksanakan.
B. Hadits Ahad
1.       Pengertian Hadits Ahad
Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, yang antara satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Di antaranya :
·         Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis Mutawatir[6], baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir.
·         Hadis Ahad ialah hadis yang para rawinya tidak sampai pada jumlah rawi hadis Mutawatir, tidak memenuhi syarat persyaratan Mutawatir dan tidak pula mencapai derajat Mutawatir, sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis: Hadits ahad merupakan Hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir.
Karena hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu harus dijadikan dasar.

2.      Pembagian Hadits Ahad
Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis Ahad dibagi menjadi 3 yakni: hadis Masyhur, hadis Azis dan hadis Gharib.
a.      Hadits Masyhur
Masyhur  menurut bahasa artinya nampak. Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur ialah Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih[7],serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Hadis Masyhur tersebut juga disebut hadis Mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak tingkatan pertama, kedua sampai terakhir. Sedang hadis Masyhur jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus tiga orang. Jadi hadis yang pada tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu adalah termasuk juga hadis Masyhur. Contohnya sebuah hadits yang berbunyi “ Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan “ (Muttafaq “Alaihi).
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur. Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kwajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Contoh lain dari hadits masyhur:

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Hadis tersebut sejak tingkatan pertama (sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. 
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadis sahih baik pada sanad maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadis hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadis sahih.

b.      Hadits Aziz
Hadis Azis ialah Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja [8], kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya (diriwayatkan orang banyak).
Berdasar pengertian tersebut bahwa hadis Azis bukan yang hanya diriwayatkanoleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, tetapi selagi pada salah satu thabaqah saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis Azis.
Ibnu Hibban Al Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak sekalikali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur, karena perawi pada thabaqat – thabaqat seterusnya berjumlah banyak.
Contoh hadis Azis
عَنْ أَبِ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan –ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
Hadis Azis ada yang shahih, hasan dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan dhaif. Sebagaimana halnya hadis Masyhur.

c.       Hadits Gharib
Hadis Gharib, ialah : Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan[9], di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Adapun maksud daripada penyendirian perawi, bisa berarti : mengenai personnya, yaitu tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain dia sendiri. Atau mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Dilihat dari bentuk penyendirian perawi tersebut, perawi tersebut, maka hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib Nisbi.
a.     Gharib mutlak
Dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabiin, bukan sahabat, karena yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan apakah ia dapat diterima atau tidak.
Contohnya:
أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْبَاقِى الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عُمَيْرِ بْنُ النَّحَّاسِ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ.

Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya. 

b.    Gharib Nisbi
Sedang yang dikategorikan gharib nisbi adalah apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya: hadits malik, dari Zuhri, dari Anas R.A, “Bahwa nabi SAW masuk kota mekah dengan menutup kepala diatas kepalanya”. Hadits ini dinamakan dengan Gharib Nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan kesiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ أُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain. 

3.      Pembagian Khabar Ahad menurut Kuat dan Lemahnya

Kata maqbul ( مقبول) secara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardu ( مردود) berarti “ditolak”.

a.      Hadis Maqbul
Klasifikasi Hadis Maqbul
1)      Hadis Shahih (الحديث الصحيح)
Merupakan tingkatan hadis maqbul yang paling tinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari berbagi seginya.
2)      Hadis Hasan(الحديث الحسن)
Merupakan hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya.
3)      Hadis Shahih li Ghairih(الحديث الصحيح لغيره)
Hadis ini seperti laiknya hadis hasan tetapi oleh karena sebab lainnya maka hadis tersebut dapat diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti hadis shahih sebagai sumber hukum karena tidak ditemukannya hadis shahih ketika itu.
4)      Hadis hasan li Ghairih (الحديث الحسن لغيره)
Merupakan hadis yang semula berstatus sebagai hadis dha’if kemudian naik derajatnya menjadi hadis hasan karena factor-faktor tertentu yang dating, kemudian hingga menjadikannya mampu menempati posisi hadis hasan.

b.      Sifat Hadis Maqbul
Ditinjau dari segi sifatnya, hadis maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteristik sebagai hadis yang diterima, yakni tiga sifat berupa:
1)      Hadis mutawatir
2)      Hadis Ahad yang marfu’, musnad dan shahih
3)      Hadis Ahad yang marfu’, musnad dan hasan
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui bahwa hadis maqbul bisa bersifat muhkam (محكم) jika tidak diketahui adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadis lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (dikerjakan, yu’malu bihi).
c.       Tingkatan Hadis Maqbul
Tingkatan hadis maqbul ditinjau dari derajat dan fungsionalnya adalah sebagai berikut:
1)      Ma’mul Bih (المعمول به)
yakni hadis seharusnya diamalkan pesan-pesannya
2)      Ghair ma’mul Bih (به غير المعمول)
yaitu hadis yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi.

d.       Hadis Mardud
Hadis mardud pada dasarnya adalah hadis dha’if yang ditolak karena memiliki ciri-ciri antara lain adalah sanadnya tidak bersambung, terputus (inqitha’) dan karena alasan lain seperti terdapat perawi yang cacat dalam sanadnya.
Hadis mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum (istinbath al-hukm).
Hadis dha’if yang merupakan hadis mardud dibedakan menjadi dua karena alasan yang berbeda, yaitu hadis dha’if karena sanadnya tidak bersambung atau terputus (munqathi’) dan hadis dha’if Karena alasan lain seperti adanya cacat dalam sanad atau matan.
 Hadis Dha’if karena sanadnya tidak bersambung, atau munfashil
1.      Hadis Mursal
Secara harfiah, kata mursal (مرسل) berarti dilepaskan atau dikirim. Hadis mursal ( الحديث المرسل) adalah hadis yang disandarkan oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan nama sahabat yang membawa hadis.
2.      Hadis Munqathi’
Kata munqathi’ (منقطع) berarti terputus, tidak tersambung, lawan dari kata muttashil (متّصل). Hadis munqathi’ (الحديث المنقطع) adalah hadis yang dalam sanadnya gugur seorang atau dua orang secara tidak berurutan.
Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya terjadi hubungan yang terputus (inqitha’) atau tidak bersambung (infishal), baik seorang atau dua orang. Adapun cara mengetahui inqitha’ adalah dengan meneliti pertemuan atau hubungan antara perawi-perawi (murid dan guru atau sami’ dan mudi’) yang ada didalam sanad dengan melihat riwayat hidup (tarjamah) masing-masing.
3.      Hadis Mu’dal
Adalah hadis yang gugur atau terputus dua perawi atau lebih di pertengahan sanad secara berurutan (mutawaliyan). Sikap perawi dalam menggugurkan perawi dalam riwayat dinamakan I’dhal (إعضال).
4.      Hadis Mudallas
Mudallas merupakan kata dalam bentuk maf’ul yang berasal dari mashdar tadlis. Secara harfiah kata mudallas berarti sesuatu yang dibuat menjadi gelap atau dijadikan samar-samar, atau tidak jelas.
Hadis mudallas adalah hadis yang terdapat perawi yang digugurkan oleh seorang perawi secara sengaja dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun perawi yang menutupi aib diatasnya (gurunya) dinamakan mudallis, sedangkan perbuatannya dinamakan tadlis.

e.       Hadis Dha’if karena sebab-sebab lainnya
1.      Hadis Mudltharib
Kata mudltharib merupakan bentuk kata pelaku (isim fa’il) dari masdar idlthirab yang berarti perubahan atau kerusakan. Hadis mudltharib adalah hadis yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan oleh seseorang atau banyak perawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti.
Hadis-hadis mudltharib jumlahnya tidak sedikit. Syaikh al-Islam al-Hafidh telah mengumpulkannya dalam kitab al-Muqtarib fi Bayan al-Mudltharib.

2.      Hadis Maqlub
Maqlub berarti yang digantikan atau dibalikkan. Dia adalah kata benda dalam bentuk isim maf’ul dari kata qalb yang berarti berubah-ubah atau berganti-ganti.
Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terjadi keterbalikan, baik dalam sanad maupun dalam matan misalnya dengan mendahulukan bagian belakang, atau mengakhirkan yang terdahulu.

3.      Hadis Syadz
Secara harfiah kata syadz berarti seorang yang menyendiri (munfarid) dari kelompok umum (jumhur). Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh tetapi berlainan dengan riwayat dari kebanyakan perawi yang tsiqah pula. Kebalikan dari hadis syadz adalah hadis mahfudh.

4.      Hadis Munkar
Kata munkar berarti yang diinkari secara harfiah. Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah (dla’if), yang menyalahi/berbeda riwayat perawi yang tsiqah, atau riwayat yang lebih lemah lagi.

5.      Hadis Matruk
Secara harfiah, kata matruk berarti ditinggalkan. Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadis maupun masalah lainnya, atau tertuduh sebagai seorang fasiq, atau Karena sering lalai dan salah, ataupun banyak sangka.

6.      Hadis Mu’allaq
Adalah hadis yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang maupun semuanya pada awal sanad. Sikap perawi dalam menggugurkan perawi sebelumnya disebut dengan terma ta’liq

4.      Karifikasi Berdasarkan Kuantitas Perawi
a.      Hadis Marfu’
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan  isim maf’ul  dari kata  rafa’a  (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi. Contohnya:
a)      Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
b)     Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
c)      Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
d)     Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud  merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
e)      Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
f)       Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
g)      Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
h)     Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’

b.      Hadis Mauquf
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat.[10] Mauquf menurut pengertian istilah ulama hadis adalah:
مَا اُضِيْفَ إِلَي الصَحَابِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ نَحْوٍ مُتَّصِلًا كَانَ مُنْقَطِعًا
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah: “Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”.[11]
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Berikut ini adalah contoh hadis mauquf antara lain:
a)      Hadis mauquf qauli (yang berupa perkataan)
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”
b)      Hadis mauquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari,
“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”
c)      Hadis mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in
“Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”
c.       Kehujjahan Hadis Mauquf
Ada prinsipnya hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (menjadikan) marfu’,[12] karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata, tidak disandarkan kepada Rasulullah saw.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa.[13]
Di antara hadis mauquf terdapat hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadis dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu secara lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’ (hadis marfu’ hukmi), sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadis marfu’ sebelumnya.
d.      Hadis Maqthu’
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata قَطَّعَ يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌyang berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
Menurut istilah hadis maqthu‟ adalah “Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.
Perbedaan antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadis yang maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqthu’. Contoh Hadis Maqthu’
1.      Hadis maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang sholat di belakang ahli bid’ah:
“Shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya”
2.      Hadis maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad al-Muntasyir.
“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”
3.      Hadis maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin
‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.” Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
e.       Kehujjahan Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari Rasulullah saw, hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.
Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in sama dengan perkataan ulama lainnya terputus.



[1] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 19
[2] Idem
[3] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 20
[4] Idem
[5] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 21
[6] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 22
[7] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 23
[8] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 26
[9] Kitab “Taisiru Mustolah Hadits” hal. 28
[10] Fatchur Rahman, Ihtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: Al- Maarif, 1995), h.75
[11] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.86
[12] Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 113
[13] Ahmad Hady Mufaat, Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadis dan Musthalahnya, (Semarang: Sarana Aspirasi, 1994), h. 153

0 comments:

Post a Comment